hazelnutbbutter

Tahun lalu, 2021.

Saat itu Jiya sedang berada di SM House untuk menggantikan pamannya, pak Kadir yang sedang pulang ke kampung halaman untuk sekitar 2 bulan. Waktu itu juga keempat bujang aneh itu sudah mulai libur kuliah sehingga mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kosan bagi yang tidak pulang kampung.

Hendy dan Junedi sudah pulang ke kampung halamannya masing-masing. Tinggal Maraka dan Lukman saja yang berada di kosan dari keempat bujang itu.

Di saat Maraka sibuk dengan organisasinya, Lukman terpaksa harus bergaul dengan Jiya, keponakan bapak kos yang sangat tidak ia sukai karena galak.

Pada suatu Malam, Lukman sedang merasa kesepian karena ketiga orang temannya sedang tidak berada di dekatnya. Berbincang melalui WhatsApp dengan berbincang secara langsung itu tentu sangat berbeda.

Lukman pergi ke rooftop kosan, untuk melihat langit malam tanpa bintang.

Ia menghela napasnya dan merogoh saku untuk mencari kotak rokoknya. Namun ia sadar bahwa ia tak membawa pemantik dengannya. Lukman hanya menghisap rokok yang tidak menyala itu.

Beberapa detik kemudian, pintu rooftop terbuka. Lantas Lukman berbalik, itu adalah Jiya. Ia berdecak kesal. Apakah hari ini tidak bisa lebih buruk lagi?

“Nyebat lu?” tanya Jiya.

“Menurut lo?” sarkas Lukman sembari memamerkan rokoknya yang tak menyala.

Jiya merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah pemantik. Ia memantik api dari sana, “Mau?” tanyanya.

Lukman berdehem, lalu ia memasukkan kembali rokok yang ia pegang ke dalam kotak rokoknya. “Sebenarnya gue udah gak ngerokok. Semenjak maba. Ini nyolong punya temen.” katanya.

“Gak nanya.” balas Jiya.

Lukman hanya bisa nyengir.

“Kenape lu? Galau amat?” tanya Jiya.

Lukman awalnya mengernyit heran, namun ia tetap menjawab. “Enggak, gue cuma ngerasa akhir-akhir ini kesepian aja sih. Jadi sepi nih kosan. Hendry sama June pulang kampung, Maraka sibuk sendiri, penghuni kos yang lain juga pegawai semua kan, gak pernah nongol.”

“Lo kenapa gak pulang kampung?” tanya Jiya. “Ke Bandung kan deket, jir.”

Lukman nyengir, “Lo kira gue gak mau pulang? Gue habis cekcok sama bokap nyokap. Gak bisa pulang dulu sementara.” jelasnya.

“Cekcok kenape?”

“Gue dimarahin karena duit bulanannya gue habisin beli merchandise dan printilannya TWICE..” lirih Lukman.

Jiya yang tadinya serius mendengarkan Lukman, fokusnya jadi terhambur. “Yah, bangsat. Udah serius juga.”

“Ini serius, jir!” pekik Lukman.

“Nye nye,”

Keduanya bertukar pikiran hingga malam semakin larut tanpa mereka sadari. Mereka baru sadar ketika mendengar pagar kos terbuka pas pada jam malam. Ternyata itu adalah Maraka yang baru pulang, tepat waktu.

“Gue mau kunci pagar. Duluan, yek.” Jiya pamit kepada Lukman.

“Jiya,” panggil Lukman.

“Oi.”

“Lo pendengar yang bagus, mau jadi pacar gue gak?” tanya Lukman.

Jiya berpikir sejenak lalu akhirnya menjawab, “Oke.” jawabnya lalu menghilang dari pandangan Lukman.

Setelah itu, Lukman langsung menceritakan semuanya kepada Maraka yang baru saja pulang.

“HAHHHH?????” pekik Maraka. Ya, itu reaksi pertamanya saat tahu temannya itu sudah tidak jomblo lagi. Ia tertawa cekikikan, “MURAHAN BANGET LO JING AOWKWOWK,” ledeknya.

“Salah gue di mana, jing?”

“Bukannya jadi teman curhat dulu, ini langsung jadi pacar? Mana Jiya juga iya-iya aja lagi.” ujar Maraka. “Buset Jiya, gak nyangka.”

“Hey, cinta itu bisa datang kapan saja, sobat.” ucap Lukman.

“CINTA PALA LO CINTA HAHAHA,” tawa Maraka. “Lo berdua tuh lebih parah dari Tom & Jerry, tiba-tiba jadian. Gak jelas.”

“Sirik lo, mblo.”

Ya, Lukman dan Jiya memang “berpacaran” tapi hubungan tersebut hanya bertahan selama 2 hari karena Jiya yang memutuskan dirinya. Setelah putus, Jiya langsung pergi dan tak pernah kembali lagi hingga saat ini.

“Kita putus yek, bye.”

© hazelnutbbutter, 2022

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Sudah lewat 2 jam dari waktu yang dijanjikan oleh Naren kepada Hana. Selama itu pula Hana menunggu kedatangan pemuda itu di teras kediaman pamannya. Setelah menunggu selama dua jam tanpa kepastian, Hana akhirnya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah dengan perasaan kesal.

“Lho, Hana masih belum pergi?” tanya Om Eko yang bingung karena keponakannya itu masih belum meninggalkan rumah padahal sudah meminta izin untuk keluar jalan.

Hana menggeleng kesal, akhirnya ia memilih untuk duduk di sofa ruang keluarga, menemani Om Eko dan adik sepupunya yang masih dalam masa liburan, Jona yang sedang bersama-sama menonton televisi.

“Pi, gantian dong. Jona mau buka Netflix!” pinta Jona.

“Ah, kamu. Netflix bisa dibuka juga di laptop. Untuk apa coba Papi beliin kamu laptop?” tukas Om Eko.

“Berita juga bisa dinonton dan dibaca online kali, Pi!” protes Jona. “Mbak Hana, bantuin dong!”

“Kejadian ini terjadi pada jam 10.43 pagi ini, hari Selasa, 14 Juni 2022 di jalan Pasar Raya Minggu, Jakarta Selatan. Kecelakaan maut yang memakan 3 orang korban.–”

Suara yang dikeluarkan dari televisi itu sontak membuat Hana tertarik. “Jon, Om. Besarin TV-nya.”

“Ih, mbak Hana!” protes Jona.

Om Eko pun membesarkan volume televisi melalui remote di tengah anak bungsunya, Jona mulai ngambek.

“2 korban tewas di tempat, dan 1 korban luka berat. Ketiga korban dilarikan ke rumah sakit terdekat,”

Sekilas, Hana melihat sebuah mobil berwarna putih yang menurutnya sangat familiar. “I-itu kan.. mobilnya Naren..?” rintihnya.

“Hah? Maksudnya, Han?” pekik Om Eko kebingungan.

“O-om.. itu.. jalan Pasar Raya Minggu dimana..?” tanya Hana sambil berusaha menahan tangisnya.

“Kalau dari arah Jakarta Timur, bisa ke sini lewat jalan itu.” jawab Om Eko.

“Pulogadung di Jakarta mana, Om..?”

“Jakarta Timur..”

“O-om.. itu Naren.. harusnya aku sekarang pergi sama dia..” ringis Hana yang berusaha keras untuk menahan tangisnya namun pada akhirnya air mata itu menetes juga.

Om Eko yang mendengar hal tersebut, langsung segera beranjak dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil. “Hana, ayo. Kita cari teman kamu itu.”

“Pi, aku juga ikut ya.” ucap Jona.

Om Eko mengangguk, lalu mengisyaratkan kedua remaja itu untuk segera meninggalkan rumah dan masuk ke dalam mobil.

Hanya ada satu rumah sakit yang paling dekat dari tempat terjadinya kecelakaan tersebut, Om Eko langsung bergegas menyetir ke arah rumah sakit itu. Selama perjalanan, Hana sama sekali tidak bisa tenang. Ia terus menangis pelan sambil menggigiti kukunya karena cemas.

Sesampainya di rumah sakit, Hana langsung turun dari mobil bersama Jona sementara Om Eko mencari tempat untuk parkir. Mereka berlari ke arah UGD yang terlihat ramai orang.

“Ada yang bisa dibantu?” ujar perawat UGD tersebut dengan ramah.

“Na.. Naren..” rintih Hana yang mulai kesulitan untuk berbicara.

Akhirnya Jona mengambil alih tempatnya untuk berbicara, “Di sini ada korban kecelakaan yang dari jalan Pasar Minggu Raya itu gak, sus?” tanya Jona.

“Atas nama siapa pasiennya?” tanya suster itu.

“Naren..?” jawab Jona yang kurang familiar dengan sosok Naren itu.

“Narendra Jauzan.. Ardiansyah ya..?” balas suster yang mengecek data itu sembari mencuri pandang tidak enak terhadap kedua orang itu.

Hana mengangguk kencang. “Dimana, sus? Dimana?”

“Kita juga sementara mau hubungin keluarganya, tapi HP korban rusak jadi butuh waktu lama untuk diakses melalui datanya dari catatan sipil..” tukas sang perawat. “Ibu dan bapak keluarga pasien?”

“Saya cuma nanya dia dimana, sus!” tegas Hana.

Perawat itu meneguk air liurnya dan akhirnya menjawab, “Narendra Jauzan Ardiansyah, dinyatakan wafat pukul 11.00. Sekarang sedang berada di ruang jenazah sampai keluarganya bisa dihubungi.”

Setelah mendengar itu, Hana langsung terjatuh. Ia syok berat. “T-tapi 2 korban tewas di tempat, 1 luka berat..”

“Pak Narendra adalah korban luka berat, namun sesampainya di rumah sakit, dia tiba-tiba tidak sadarkan diri. Setelah pelaksanaan CPR, jantungnya sudah tidak berdetak lagi.” jelas perawat itu.

Jona berdecak, “Mbak, kita ketemu kak Naren aja ya? Kita pastiin. Biar kita bisa kasih tahu keluarganya.”

Hana mengangguk dengan berat. Kedua orang sepupu itu pun berjalan menuju ruang jenazah. Sesampainya mereka di dalam ruangan tersebut, rasanya berat sekali bagi Hana ketika membaca nama 'Narendra Jauzan Ardiansyah' beserta tanggal lahir dan tanggal wafatnya di atas jasad yang telah ditutupi oleh kain.

Setelah diperbolehkan oleh perawat penjaga ruangan untuk membuka kain jasad, Jona pun perlahan membuka kain tersebut.

Tepat saat kain itu dibuka, tampaklah wajah Naren yang terlihat seperti sedang sedikit tersenyum. Hana sudah benar-benar tidak tahu harus apa. Tangisannya semakin kencang, membuat Jona harus memeluk kakak sepupunya itu agar bisa lebih tenang.

Tak lama, Om Eko menyusul masuk ke dalam ruang jenazah. Ia juga sangat terkejut karena harus menyaksikan kejadian menyakitkan bagi keponakan paling dekatnya itu.

Hana mendekat ke arah wajah almarhum Naren dan berkata, “Naren.. kenapa kamu ninggalin dunia saat aku belum bilang kalau aku juga suka sama kamu.. Naren..”

Hana mulai kesulitan mengambil napasnya, sehingga Om Eko harus memanggil suster yang ada. “Sus! Tolong bantu dengan oksigen. Anaknya ada asma.”

“Iya, pak. Saya bawa ke UGD, ya.”

“Jona, kamu temenin mbak Hana ya. Papi mau hubungin tante Elana dulu biar keluarganya kak Naren tahu,” ucap Om Eko kepada Jona.

Jona hanya mengangguk mengerti dan menuruti arahan ayahnya.

***

Sekitar 20-30 menit kemudian, akhirnya keluarga Ardiansyah tampak di dalam rumah sakit. Om Eko pun menyambut dan menuntun mereka ke ruang jenazah untuk melihat jasad anak keduanya.

Mama Naren terlihat sangat terpuruk dan menangis keras, Papa Naren yang berusaha keras untuk menahan tangis, Wina yang juga menangis sembari menenangkan ibunya, serta Yudhis yang memalingkan wajahnya dari jasad sang adik karena tidak kuasa menahan tangisnya.

Dengan kedatangan keluarganya, jasad Naren akhirnya dapat dipindahkan ke rumah duka dan di sanalah, teman-teman Naren seperti Jevon, Hegar, dan Renan datang. Tidak lupa dengan teman-teman sejurusannya.

Hana yang sedang menangis di pojok ruangan itu pun didatangi oleh Jevon, Hegar, dan Renan.

“Han..” panggil Jevon pelan.

“Jev..” lirih Hana yang kemudian air matanya mengalir semakin deras. Ia memeluk Jevon dengan erat, “Jev, gue belum bilang kalau gue juga suka sama dia.. selama ini gue selalu mengabaikan perasannya yang tulus.”

Ketiga pemuda yang mendengar perkataan itu perlahan menitikkan air mata mereka. Hegar dan Renan pun ikut menenangkan Hana.

“Han, Naren tahu. Dia tahu kok perasaan lo gimana.” ucap Hegar.

Renan menepuk pundak Hana, “Jinan sama Yuna bentar lagi sampai buat nemenin lo. Atur napas ya, Han.”

Hegar dan Renan pun meninggalkan Hana dan Jevon berdua saja.

“Jev, dia mati karena gue.. dia mati karena mau jemput gue, dia mati karena gue selalu meremehkan perasaannya ke gue..” lirih Hana.

Jevon berdecak kesal, “Hana, udah. Naren gak pernah mikir kayak gitu. Dia benar-benar suka sama lo dengan tulus, karena lo apa adanya. Tidak peduli perasaan lo bagaimana. Tapi, dia tahu perasaan lo kok.” ucap Jevon. Ia lalu merogoh sakunya dan memperlihatkan chat di grup empat orang pemuda itu semalam.

“Ini semua salah gue..” ujar Hana.

© hazelnutbbutter, 2022

Hari Jumat pagi yang melelahkan bagi anak kembar tiga Arsitektur '21 Universitas SM. Mereka menyusun tugas maketnya semalaman sehingga tidak mendapat tidur yang cukup. Terutama Yuna. Ia ada kelas pagi ini pada jam 7.30. Berhubung mobil kakak Jevon sudah dibawa oleh sang pemilik, maka Jevon harus kembali menggunakan motornya.

“Gue antar Yuna dulu, ya.” ujar Jevon pada Hana yang masih berusaha untuk kembali tidur di sofa ruang tamu kediaman keluarga Jevon.

“Han, nanti aku pulang siang, langsung ke kos, kok.” ucap Yuna.

Hana hanya menggangguk mengerti dalam keadaan mengantuk. “Iya, ini aku ngumpulin nyawa dulu. Tapi kamu serius gak mau bolos aja hari ini?”

“Ini pertemuan terakhir sebelum final lho, Han.”

“Oh, iya!” seru Hana. “Berarti nanti aku gak bisa bolos juga haduh..”

Jevon tertawa mengejek, “Semester 2 udah mau kelar, lo masih kepikiran bolos.”

Hana nyengir kuda, “Sejujurnya lo juga mau bolos, kan?” sarkasnya pada Jevon.

“Udah woi. Gue telat bentar!” protes Yuna.

Setelah saling cekcok satu sama lain, Jevon dan Yuna pun akhirnya meninggalkan rumah sehingga hanya ada Hana beserta orangtua dan kak Jesslyn, kakak perempuan Jevon yang masih ada di sana. Ini bukan pertama kalinya pula Hana maupun Yuna berkunjung ke rumah Jevon sekeluarga, jadi ini sangat tidak canggung.

Mengenai Jevon dan keluarganya.. Jevon adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Kakak sulungnya adalah bang Dika, dan kakak keduanya adalah kak Jesslyn. Ya, sang pemilik usaha kebab yang dikenal enak. Sementara kedua orangtuanya sudah pensiun setelah anak sulungnya memiliki pekerjaan tetap, keduanya pun memilih untuk membantu anak perempuannya dalam mengelola usaha makanan ini.

Lalu Jevon.. ya kalian sudah tahu. Dia adalah anak dengan kepribadian yang unik dan dapat membuat semua orang di sekitarnya nyaman—platonically—.

Hana merasa tidak enak berleha-leha di sofa orang tanpa memerhatikan kesibukan pemilik rumah. Ia pun pergi mencari orangtua Jevon dan kak Jesslyn ke rumah sebelah, tempat usaha kebab itu dijalankan. Memang masih terlalu pagi untuk membukanya, tapi keluarga ini sudah mulai menyiapkan bahan yang akan digunakan.

“Tante, om.. kak Jesslyn. Saya boleh bantu, gak?” ucap Hana menawarkan bantuan.

“Aduh, Hana gak usah repot-repot bantuin. Pasti capek banget ngerjain tugas semalaman.” elak ayah Jevon.

“Hana mending kamu tidur dulu di kamarnya Jevon. Itu tante udah sempat kasih nyala AC-nya biar kamu bisa tidur.” ucap mama Jevon.

“Tapi sebenarnya seladanya belum dicuci, sih.” ucap kak Jesslyn.

“Ck, kakak!” celetuk mama Jevon.

“Biar saya aja, kak yang cuci seladanya.” ucap Hana lalu mengambil sebaskom selada dan membawanya ke dapur.

“Tolong cucinya pakai air yang di-filter, ya Hana.” ucap kak Jesslyn.

“Iya, kak!” balas Hana.

TING TONG!

Terdengar suara bel saat Hana sedang sibuk mencuci selada. Sebelum mama Jevon berjalan untuk membuka pintu, Hana sudah menawarkan diri untuk membuka pintunya.

Krek

“Cari sia-”

“Ha-Hana?”

Hana mendengus. Ia benar-benar tidak menyangka Naren akan muncul di depannya pagi-pagi di rumah orang. Terutama hubungan kedua sahabat ini juga sedang merenggang.

“Jevon mana?” tanya Naren.

“Ke kampus.”

“Lho, kamu?”

Hana mendengus, “Peduli amat.”

Naren menaikkan sebelah alisnya, “Ya iya, lah.”

“Bentar dia balik, dia cuma nganter Yuna. Kalau mau ketemu, tunggu aja di sini. Aku mau masuk.” ketus Hana.

“Lho, akunya gak disuruh masuk?”

Hana mengernyit, “Ini bukan rumah aku.”

Tepat sebelum salah satu maupun keduanya memasuki rumah, suara knalpot motor yang familiar pun mulai terdengar hingga akhirnya muncullah sosok Jevon yang segera memarkirkan motornya di depan rumah.

Sesaat ia melepas helmnya, ia langsung mengernyit tidak enak. “Lo ngapain disini?” pekiknya setelah menyadari kehadiran Naren.

Naren berdehem, kemudian memeluk Jevon dengan canggung. “Aduh, bro. Lo dari mana aja sih gak ikut nongki semalam?”

Jevon yang merasa canggung langsung segera melepaskan pelukan itu. “Utututu ada yang kangen.” ejek Jevon.

Melihat kedua orang itu, Hana langsung merasa geli sehingga ia akhirnya kembali masuk ke dalam rumah untuk mencuci selada.

Sepeninggal Hana, Naren pun menghela napasnya.

Jevon yang memasang wajah mengejek dengan sebelah alis yang diangkat, “Lo.. modus kan sebenarnya? Mau ketemu Hana, kan?”

“Mana ada! Udah, gue mau makan kebab!”

“Belum buka, tolol.”

“Mau main.”

“Dih?”

© hazelnutbbutter

Sore ini, Hana sedang sibuk bersiap-siap untuk pergi makan malam bersama keluarganya di luar untuk merayakan hari ulang tahunnya yang ke-18. Ia baru saja hendak masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

DING DONG!

Suara bel yang menggema di seluruh rumah membuat Hana mengernyit, “Ah, paling mahasiswanya Ayah mau bimbingan.” ucapnya masa bodoh dan akhirnya masuk ke dalam kamar mandi.

TOK TOK TOK!

Selang beberapa menit setelah bel rumah berbunyi tadi, kali ini dari dalam kamar mandi, Hana mendengar ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Hana berdecak kesal, “Ah, lama-lama makin parah nih sembelit gue.”

Dengan suasana hati yang kesal, Hana yang belum mandi terpaksa harus keluar dari kamar mandi setelah menekan tombol flush pada toilet. Ia kemudian berjalan menuju pintu kamarnya, dan membuka pintu tersebut.

“Bunda? Kenapa, Bun.. aku lagi mau mandi..” keluhnya.

Dengan wajah dan kedua mata yang berbinar, Bunda Hana berseru, “Ada tamu! Ada tamu!”

“Iya, aku dengar tadi belnya. Mahasiswanya Ayah, kan? Apanya yang spesial?” tanya Hana.

“Calon menantu Bunda!”

Hana mengernyit, “Mahasiswanya Ayah ganteng? Mau Bunda jodohin ke aku gitu? Haduh, gak sekarang deh Bun.”

Bunda menggeleng-geleng. Ia tampak tidak bisa lanjut berbicara banyak karena terlalu senang. Ia hanya bisa menarik tangan anak gadisnya menuruni tangga menuju ke ruang tamu di bawah.

“Bun, aku belum mandi!”

Sesampainya Hana di ruang tamu, kedua bola matanya langsung membesar. Orang yang ia kira semakin jauh darinya, sekarang ada di depan matanya, di rumahnya.

“Ha-Hana..” suara orang itu.

“Na-ren..? Kok bisa..”

Sebelum keduanya bertukar kata, Bunda Hana langsung memotong sesi temu kangen keduanya.

“Aduh, Naren! Makin ganteng aja, ya.. ini kamu kenapa gak bilang-bilang mau kesini? Mama kamu juga gak bilang...” ucap Bunda.

“Iya, tante.. Naren emang gak bilang ke Mama mau kesini takutnya dia minta macam-macam, hehe.. Mama taunya Naren liburan sama temen-temen aja.” jelas Naren.

“Oalah.. Naren kesininya sendiri?”

“Iya, tante..”

“Nginapnya nanti dimana? Bukannya keluarga kamu di Jakarta semua?”

“Iya tante, nanti mau nginap di hotel aja,”

“Hotel? Aduh, mending uangnya disimpan aja buat jajan. Kamu nginap disini aja, ya?” ajak Bunda Hana.

“Hah-?” pekik Naren.

“Bun??” pekik Hana yang menggeleng-geleng ke arah Bundanya.

“Emang kita gak ada kamar tamu, tapi kamu bisa tidur di kamarnya mas Tirta aja kok. Kamarnya luas!”

“Bun!”

“Gak usah, tante.. hahaha. Ngerepotin..”

“Ngerepotin apanya!” potong Bunda. “Gak ngerepotin kok, mas Tirta juga pasti mau berbagi kamarnya. Kalau dia gak mau pun, kamu bisa tidur di kamar Hana kok!”

“OHOK!”

“BUNDAAA!!!!!!!”


Alhasil, Naren aman di kediaman Haris. Ia sekarang sedang berada di kamar mas Tirta untuk bersiap-siap karena ia juga diajak untuk ikut dalam makan malam perayaan ulang tahun Hana. Untung saja Naren sudah mengabari Tirta perihal kedatangannya, seandainya ia tidak mengabarkan, bisa saja Tirta tidak mau membagi kamarnya.

“Gimana Balikpapan? Kamu kan udah gak pernah ke sini lagi kan ya setelah pindah?” tanya mas Tirta yang sudah pulang. Tadi ia tiba di rumah tidak terlalu lama setelah kedatangan Naren di kediaman keluarga mereka.

“Berubah banyak ya mas, jadi gak ngenalin.” jawab Naren. “Bandaranya udah modern banget, apalagi jalanannya udah mau kayak di Jakarta gitu..”

Tirta mengangguk pelan, kemudian kembali bertanya, “Kamu serius jauh-jauh dari Jakarta ke Balikpapan gini cuma buat surprise-in Hana?”

Naren tertegun mendengar pertanyaan dari kakak Hana. Ia hanya bisa mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, diiringi dengan helaan napas lesu. “Aku juga gak tahu, mas. Padahal bisa aja kalau mau ngomong langsung sama Hana, aku tunggu sampai dia balik ke Jakarta. Tapi gak tau kenapa aku pengen aja ngelakuin ini di hari ulang tahunnya.”

“Ngomong langsung apaan?” tanya mas Tirta bingung.

Naren bergidik ngeri melihat raut wajah mas Tirta yang entah mengapa mendadak serius, ah dia lupa bagaimanapun juga, sebijak apa pun mas Tirta, tetap saja ia adalah seorang kakak laki-laki adik perempuannya.

Naren tertawa canggung, “Biasa kak, anak muda..”

Lantas Tirta memicingkan kedua matanya, “Hoh. Ternyata kepincut beneran, ya?”

Naren benar-benar terdiam tidak tahu harus membalas apa setelah itu.

© hazelnutbbutter, 2022

Naren menekan tombol off cam pada iPadnya, sehingga tidak tampak gambar darinya. Sedangkan, wajah Hana masih terlihat.

Ia menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya. “J-jadi gini..”

Krek

Pintu kamarnya terbuka. Jevon muncul dari balik pintu sambil mengeringkan rambut basahnya dengan handuk.

“Ngomong sama siapa lu?” tanya Jevon penasaran sambil langsung naik ke atas kasur. Membiarkan Naren sibuk di meja belajar.

“Lho, Jevon udah balik?” ujar Hana dari seberang sana.

“He? Lagi telponan lu sama Hana?” pekik Jevon sambil tersenyum lebar lalu menghampiri Naren. “Halo, Han!”

“Lo lama banget anjir. Gue dari tadi telponin HP lo gak diangkat, soalnya gue mau liat kerjaan tugas lo, makanya gue minta tolong ke Naren.” ucap Hana.

“Sori, sori tadi gue mandi.” jawab Jevon. Ia melihat ke layar iPad Naren, “Lah, facetime? Tapi ngapa lo matiin video lo, Na?”

Naren berdecak kesal, “Ah lo sana, dah!” serunya lalu pergi ke luar kamarnya sambil membawa iPadnya menuju ke tempat yang cukup sepi di rumahnya, balkon.

“Oke, aman.” ucap Naren.

“Ini ceritanya kamu kabur dari Jevon?”

“Mungkin?”

“Memangnya kamu mau ngomong apa sampai harus off cam, dan Jevon gak boleh tahu?”

Naren menghela napasnya. “Tadi.. tadi pas aku di kosanmu, ada hal yang aku ucapin bikin kamu bingung.”

“Yang mana?”

“Yang itu..”

“Yang itu yang mana?”

“Yang aku bilang kalau aku masih mikir seperti 'itu'.” balas Naren kikuk namun kata 'itu' ia berhasil tegaskan.

Tak ada suara yang terdengar dari Hana, namun Naren bisa melihat videonya masih bergerak.

“Ooh.. itu kenapa?”

Naren berusaha untuk mengatur napasnya, “I think I still like you. Oh, bukan I think lagi, because it is true.” ucapnya.

“Ren..?”

“Andai kamu tahu, betapa kangennya aku sama kamu selama tinggal di sini. Aku gak pernah lupain kamu satu detik pun, Hana.” ucap Naren. “Kalau kamu heran kenapa aku tiba-tiba ngomong kayak begini, mungkin itu karena aku cemburu sama hubungan kamu dan Jevon. Kalian berdua akrab banget, melebihi dari aku yang sudah lebih lama kenal sama kamu.”

“Naren..”

“Aku tahu kamu suka sama orang lain, yang aku tidak tahu siapa orangnya. Aku juga gak berharap kamu suka balik sama aku atau gimana, tapi aku cuma pengen kamu tau aja kalau aku gak pernah ngelupain kamu sama sekali.”

“Naren, maaf aku mau end ya.”

Tut.. tut..

© hazelnutbbutter, 2022

Hari mulai menggelap. Di kosan, Hana bersama kedua temannya, Jinan dan Yuna sudah siap untuk pergi ke pesta ulang tahun sederhana ke-18 teman kecilnya, Naren. Gadis itu juga sudah mendapat kabar dari Wina kalau ia baru saja tiba dan akan menjemputnya di lobi kosan.

Ketiga teman itupun segera menuruni tangga sesaat telah mendapat kabar dari Wina, kemudian mereka melihat sosok remaja perempuan yang sedang melambai-lambaikan tangannya kepada mereka. Ya, itu Wina.

“Halo, kakak-kakak!” sapanya. “Eh, kak Hana cantik, banget...” pujinya setelah melihat penampilan Hana yang berbeda dari biasanya. Malam ini, Hana mengenakan pakaian semi formal yang ia bawa dari kota asalnya. Bukan dress tentunya karena dia tidak terbiasa memakai pakaian ber-rok. Cukup dengan kemeja satin berwarna abu-abu yang dipadukan dengan blazer hitam, dan celana jeans andalannya dapat membuatnya terlihat luar biasa malam ini. Ah, tidak lupa dengan riasan wajahnya. Hana memang bukan seorang pemerhati pakaian, tetapi ia adalah orang yang sangat memperhatikan riasan wajahnya.

“Hahaha, enggak kok.. makasih lho tapi.” balas Hana dengan canggung. “Oh iya, kenalin. Ini Wina, adiknya Naren. Wina, ini teman aku dari Balikpapan, Jinan. Terus ini teman satu jurusan aku, Yuna. Kita semua ngekos disini.”

“Wah, salam kenal, kakak-kakak!” seru Wina sambil tersenyum manis pada Jinan dan Yuna. “Kalau gitu, kita pergi aja yuk sekarang!”

“Oke,” balas Hana.

“Fix, dia extrovert.” bisik Jinan pada Yuna, membicarakan Wina.

Ketiga dari mereka pun masuk ke dalam mobil lalu disapa oleh pria yang duduk di kursi pengemudi, itu adalah kak Yudhis dengan senyuman lebarnya menyambut ketiga gadis itu.

“Hai lagi, Hana!” sapanya.

“H-halo, kak.” balas Hana kikuk. “Oh iya, ini kak Yudhis, kakaknya Naren. Kak, ini Jinan sama Yuna.

“Halo, kalian.” salam Yudhis.

“Halo, kak.” balas Jinan dan Yuna.

“Anjir, cakep kakaknya.” bisik Yuna pada Jinan.

Tak lama, mobil pun mulai berjalan. Ah, ini adalah jam pulang kerja. Jalanan jadi macet apalagi ini adalah Jakarta. Akhirnya perjalanan mereka harus memakan waktu selama sekitar 45 menit karena lumayan macet, namun akhirnya mereka sampai juga di destinasi terakhir mereka.


Di dalam rumah Naren..

Ketiga teman Naren sudah lengkap berada di kediaman keluarga Ardiansyah, sedang sama-sama duduk di sofa yang berada di ruang tamu sambil bermalas-malasan. Sebenarnya Naren bingung mengapa pestanya belum dimulai padahal ketiga temannya sudah datang. Sampai ia akhirnya baru sadar kalau kakak dan adiknya tidak ada di dalam rumah.

“Men. Abang sama adek lo pada kemana?” tanya Renan.

Naren mengedikkan kedua pundaknya, “Nah kamanya gue bingung.” balasnya lalu pergi bertanya ke Mamanya di dapur, “Ma, adek sama kak Yudhis mana?”

Mama Yurina tersenyum sumringah lalu menjawab, “Ambil kado buat kamu.”

“Ah.. oke, Ma.” balas Naren santai lalu kembali lagi ke ruang tamu untuk bertemu dengan ketiga temannya. “Ambil kado katanya.”

Renan yang merasa pertanyaan terjawab hanya mengangguk-angguk mengerti sambil mengemili cemilan yang ada di meja tamu.

“Na.” panggil Jevon.

“Oi.”

“Lo gak ngundang Hana?” tanyanya.

“HANA? HANA ADA?” seru Hegar yang tadi hanya diam-diam sambil main Nintendo Switch milik Naren langsung terperanjat.

Naren menggeleng, “Kagak.”

“Kenapa?” tanya Jevon.

“Ya, gak papa.” balas Naren acuh tak acuh.

Renan terkekeh, “Kalau dia bentar tiba-tiba nongol, gua bakal ketawa sih.” ledeknya.

“Mana ada.” sanggah Naren walau sebenarnya dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia sangat ingin merayakan ulang tahunnya bersama cinta pertamanya. Tapi ia tidak memiliki keberanian untuk mengundangnya karena mereka baru saja bertemu kembali setelah 11 tahun, dan masih belum seakrab dulu lagi.

Saat itu, pintu depan rumah terbuka tanpa aba-aba, tanpa ketukan atau bel sekalipun yang membuat Naren sedikit kaget. Ia kira ada maling yang masuk ke rumahnya.

“Kita pulang!” seru Yudhis yang muncul dari pintu itu.

Naren menghela napas lega, ternyata itu hanya kakaknya, bukan maling. “Adek mana? Katanya sama elu?” tanyanya.

“Ada kok.” balas Yudhis cuek lalu pergi ke dapur untuk mencomoti makanan yang telah dibuat oleh Mama, walau gagal karena tangannya disentil dan ia jadi mengundang omelan sang Ibunda.

Naren menaikkan sebelah alisnya bingung karena jawaban kakaknya yang tidak pasti. Akhirnya ia beranjak dari sofa, dan berjalan ke arah pintu, hendak keluar rumah untuk mencari adiknya. Eh bukannya bertemu sang adik saja, ia juga bertemu seseorang yang.. ia tidak sangka akan berada disini.

“Mau kemana, kak?” tanya Wina yang bingung melihat Naren yang berdiri di dekat pintu. “Ini kak Hananya udah datang padahal.”

“Ini.. kenapa dia..?” ucap Naren dengan terbata-bata sambil menunjuk perempuan yang ada di depannya dengan tangan gemetaran.

Perempuan yang ditunjuk Naren tidak lain adalah Hana. Hana tersenyum canggung, “S-sebenarnya Mama kamu yang ngundang aku kesini.. Ah! Ini hadiah buat kamu.. dibukanya nanti aja ya pas lagi sendiri.”

“O-oke.. makasih.” ucap Naren.

Sepersekian detik setelah Hana membalas Naren, Mama Yurina langsung menampakkan dirinya. “Hana!” serunya sambil menghampiri Hana dengan girang. “Akhirnya datang juga.. ini teman-teman kamu, ya?”

“Iya, tante.”

“Ya udah, masuk aja yuk. Udah siap semua kok.” ajak Mama dengan ramah.


Pesta ulang tahun sederhana Naren berjalan dengan sangat lancar. Tidak disangka ternyata Jinan dan Yuna bisa berbaur dengan Hegar dan Renan. Lalu bagaimana dengan Jevon? Jevon asik berbincang dengan Hana dan seakan lupa akan keeksistensian Naren. Akhirnya si birthday boy hanya bisa pergi dari ruang tamu menuju ke ruang makan, dimana keluarganya berada sambil menyaksikan kegiatan di ruang tamu.

“Jevon kayaknya akrab banget ya sama Hana.” ucap Papa.

“Sampai Naren terkucilkan, wahaha.” ledek Yudhis.

“Kan mereka satu kampus, satu jurusan. Wajar aja sih.” balas Naren sambil mengambil segelas air tanpa melepaskan pandangannya dari Hana dan Jevon.

“Kak Naren gak cemburu?” tanya Wina.

“Cemburu kenapa?” balas Naren cuek.

“Mama padahal maunya kamu yang sama Hana..” ucap Mama dengan nada kecewa. “Tikung aja, kak.”

“Ma..” Naren memicingkan matanya kepada sang Mama. “Mereka cuma temenan tau.” lanjutnya lalu ia mulai meneguk air yang dari tadi ia pegang.

“Ya kamu sama Hana juga temenan, tapi bakal nikah!” ujar Mama.

“OHOK!” Naren langsung tersedak dengan air yang sedang ia minum. “Ma?!” tegurnya lalu segera melihat ke arah ruang tamu. Untung saja, mereka sepertinya tidak mendengar ucapan Mama.

“Pokoknya kalian berdua harus nikah. Mama sama Bundanya Hana udah janjian. Ah, tapi nikahnya tunggu Yudhis dulu. Kasihan kalau dilangkahin.” ucap Mama.

Papa, Yudhis, dan Naren tidak bisa berkata apa-apa.

“Kak Yudhis apa gak mau dijodohin juga, Ma?” tanya Wina.

Mama menggeleng, “Kasihan ceweknya.”

“MAMA????” seru Yudhis.

© hazelnutbbutter, 2022

Death Note anime reference at some point!

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.53, Hana masih beradandi atas motor yang dikendarai oleh Naren. Ia melihat pintu masuk bawah tanah stasiun Bundaran HI. Naren pun menghentikan motornya di dekat situ, sang gadis buru-buru melepaskan helmnya dan pamit kepadanya.

Thanks ya, Ren! Aku duluan dulu, takutnya temanku kelamaan nunggunya.” ucap Hana.

“Kamu gak mau aku jemput nanti atau gima-”

Naren belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tapi Hana sudah pergi dari pandangannya.

“Ya elah mau ketemu Jevon doang, sampai segitunya.. Cih.” cibirnya dalam hati.

Sementara itu, Hana menuruni tangga dengan perlahan sambil melihat ponselnya. Ia pun akhirnya melihat pemuda yang wajahnya persis dengan yang pernah dirinya lihat di profil WhatsApp milik Jevon. Ya tentu saja, itu Jevon yang sedang berdiri di bawah tangga.

Dengan kikuk, Hana berjalan mendekatinya. “Jevon?”

“Hana, ya?” balas pemuda berpakaian biru itu.

Hana mengangguk. Sejujurnya ini sangat canggung. Pertemuan secara langsung benar-benar berbeda dengan berbincang di WhatsApp.

“Ya udah yuk. Sambil jalan aja, MRT-nya bentar lagi datang.” ucap Jevon. “Lo udah punya kartu MRT kan? Kalau gak ada, E-Money aja atau Brizzi.”

“Aku ada E-Money kok.”

“Bagus. Nanti gue ajarin caranya.”

Dengan ramah, Jevon mengajak Hana terus berbincang dan bahkan mengajari gadis itu cara membayar, naik, dan menjelaskan rute MRT. Kebaikan Jevon membuat Hana merasa tersanjung. Dia benar-benar orang yang baik.

Setelah beberapa menit, mereka pun sampai di tujuan akhir mereka. Dari stasiun pun mereka hanya perlu berjalan kaki sedikit sampai ke toko yang hendak mereka tuju.

Animate, toko pernak-pernik Anime dan Manga. Surga bagi para otaku, termasuk Hana dan Jevon.

“Wah, gede banget.” ucap Hana.

“Gue udah lihat di instagramnya tadi, mereka ada section terpisah buat Death Note. Mau liat?” tanya Jevon.

“Ayo, ayo!”

Keduanya pun segera masuk ke dalam toko dan berjalan menuju lorong yang penuh dengan barang-barang yang berbau anime legendaris, Death Note. Wajah Hana langsung berseri-seri saat melihat action figure para Shinigami yang berjejer rapi pada satu rak.

“Lo emang sukanya Shinigami ya?”

Hana mengangguk, “Apalagi Ryuk. Soalnya mereka gak ribet kayak Light sama L.” balasnya.

Jevon tertawa, “Setuju sih.”

“Kamu- lo sukanya siapa?” tanya Hana.

Jevon mengambil salah satu action figure perempuan dengan pakaian berwarna hitam dan rambut pirang sambil menjawab, “Misa imut, dong.”

Hana tertawa cekikikan. “Ka- lo seru juga.”

“Masa, sih? Hahaha,” cetus Jevon. “Oh ya, santai aja gak usah maksa gue-loan kalau belum terbiasa.”

“Habisnya orang Jakarta katanya bakal geeran kalau pakai aku-kamu.” ujar Hana.

Jevon tertawa sampai kedua matanya mengerut, memamerkan eye smile khasnya, “Gak semua kok. Gue enggak. Tenang aja.”

Hana mengacungkan tangannya, memberikan isyarat 'OK' kepada Jevon sebagai tanda paham.

Seiring berjalannya waktu, keduanya menjadi semakin akrab tanpa disadari. Mereka sudah bisa saling bertukar canda dam humor, bahkan berbagi selera. Sampai-sampai mereka betah berlamaan bersama karena merasa nyaman dan cocok sebagai teman.

© hazelnutbbutter

Mobil yang Naren dan Hana kendarai sudah berada di depan rumah dua tingkat berwarna krem ini. Pemuda itu memarkirkan mobilnya tepat di depan pagar rumahnya, kemudian mematikan mesin.

“Kalau Mama ngomong rada macem-macem, gak usah dipikirin ya.” ucap Naren pada Hana sebelum mereka membuka pintu rumah.

Hana cuma mengangguk kecil.

Pemuda itu pun membuka pintu tersebut. “Assalamualaikum, Naren pulaangg!”

Dengan canggung, Hana hanya bersembunyi di belakang Naren saja. Sampai akhirnya ia melihat buntelan bulu berekor yang menghampirinya.

“Meaw~” terdengarkan suara mengeong dari kucing berwarna oranye itu.

Naren berjongkok sambil mengusap-usap gemas kucing itu. “Halo, brader.” ucapnya.

“Kamu punya kucing??” tanya Hana antusias.

“Eh iya, kucing kampung sih. Emangnya aku gak bilang ya? Kamu takut kucing?” tanya Naren.

“Enggak sama sekali! Aku suka banget kucing!” girang Hana sambil ikut berjongkok. “Aku boleh elus?”

“Minta izin aja sendiri sama dia.”

“Siapa namanya?”

“Bleki.”

Hana memicingkan matanya dengan sebal terhadap Naren.

Naren tertawa, “Hahaha. Canda. Namanya Nero.”

“Jantan?”

“Betina.”

“Terus kenapa kamu panggil brader sih..” protes Hana dengan muka datar.

“Ya gak papa, sih.” tawa Naren iseng.

Saat keduanya sedang sibuk dengan Nero si kucing, Mama Yurina pun muncul dengan girang.

“Hana!! Halo sayang, udah lama banget gak ketemu, makin cantik aja~” sapanya antuasias sambil mencipika-cipiki Hana.

“Hehehe, iya tante. Apa kabar?”

“Baik.. baik banget karena kamu datang ke rumah!” balas Mama Yurina. “Papa, Kakak, Adek! Sini! Ketemu Hana!”

Drap drap drap

“Wih, ketemu lagi nih.” ujar kak Yudhis.

“Halo, kakak cantik!” sapa Wina.

“Wah, Hana sudah lama gak ketemu ya..” ucap Papa Candra.

Hana cukup kewalahan dengan tiga reaksi berbeda namun sama-sama antusias dari ketiga orang yang baru saja muncul itu.

“Mama tau kalian pasti sudah makan, tapi Mama mau Hana cobain rendang buatan Mama! Hana suka rendang kan?” tanya Mama Yurina sambil merangkul lengan Hana pergi menuju ke ruang makan.

Naren hanya mengikuti kedua perempuan itu dalam diam.

“Iya, tante.” jawab Hana.

“Eits. Jangan panggil tante. Panggilnya Mama aja.”

“Ma- ma..?” ucap Hana canggung. Ia langsung bertukar pandang dengan Naren, “Gimana nih?”

“Udah lah, pasrah aja.” balas Naren dengan gerakan bibirnya.

“Hana kosannya di mana?”

“Di dekat kampus, Kemayoran.” jawab Hana.

“Wah susah juga kalau mau main kesini bolak-balik Kemayoran-Pulo Gadung..”

“Gak jauh-jauh amat kok, ma.” timpal kak Yudhis yang sedang mengupas kulit salak. “Yang jauh itu ke NEO tuh, ke rumah kita di Kebon Jeruk. Ya gak, Ren? Untung aja sekarang masih libur jadi bisa melipir ke mama papa.”

“Eh iya ya.. kan nanti pas masuk kuliah Naren tinggalnya sama Kakak di Kebon Jeruk.. Nanti Hana sama siapa dong..” ujar Mama cemberut. “Tiap weekend, Naren pulang kesini ya.”

“Mam, mam.. apa gunanya dia tinggal di dekat kampus kalau pada akhirnya dia disuruh bolak-balik ke rumah..” protes Yudhis. “Naren anak kedokteran lho, ma. Bakal sibuk di kampus. Mana ada waktu buat bolak-balik Jakbar-Jaktim.”

Naren dan Hana yang ada disitu hanya bisa sama-sama diam sambil menikmati rendang dan nasi.

“Coba Hana sama Naren satu kampus ya..” cetus Mama yang membuat Naren menepuk jidatnya karena frustrasi.

Untung saja Hana pun menikmati rendang buatan Mama Yurina yang beneran enak. Mama Yurina bahkan membungkuskan lebih rendang dan masakan lainnya untuk Hana.

Ia tidak bisa berlama-lama di rumah Naren karena jam malam kosannya. Mama Yurina sebenarnya menyuruhnya menginap saja, bahkan Wina pun menawarkan Hana untuk tidur di kamarnya, tapi Naren kekeuh untuk membiarkan Hana pulang, ditemani juga dengan Wina untuk meminimalisir ke-negative thinking-an orang di kosan nanti.

© hazelnutbbutter

14.31

Hana baru saja tiba di mall Kota Kasablanka dengan menggunakan ojek online. Dari kosannya yang terletak di Jakarta Pusat, perjalanannya memakan waktu sekitar 30 menit.

“Makasih ya mas. Udah pakai Gopay kan?” tanya Hana untuk memastikan.

“Iya mbak.” jawab sang supir ojek online itu.

Setelah mengembalikan helm kepada supir ojol tersebut, Hana langsung berlari dari pinggir jalan menuju pintu utama mall. Ia sudah tidak bisa menahan rasa laparnya lebih lagi atau ia akan mengamuk.

Hana langsung menuju ke lantai lower ground di mall, dan memasuki salah satu chain restaurant favoritnya, Marugame Udon. Ia memesan chicken katsu curry udon, kemudian mengambil nori tempura dan gyoza. Ia mengakhiri pesanannya dengan lemon tea untuk satu orang.

Setelah membayar makanannya, Hana langsung mengambil tempat duduk yang terletak di pojok agar ia bisa makan dengan tenang tanpa sibuk memperhatikan orang lain.


Di lain tempat..

Brak!

Pintu mobil ditutup. Naren melihat jam tangannya, “Gue gak telat-telat amat kan, ya?” ujarnya pada diri sendiri. “Untung aja weekday jadi gak terlalu macet di depan.”

Dari area parkir, Naren langsung memasuki mall dan segera menuju ke tempat janjian mereka di Marugame Udon. Setibanya di dekat tempat makan tersebut, Naren tidak bisa berpikir dengan baik. Jantungnya entah kenapa berdebar kencang, dan tangannya bergetar hebat.

Ia memegang dadanya, “Kenapa gua jadi deg-degan gini dah.. santuy.. yang dulu cuma cinta monyet. Sekarang bukan apa-apa.”

Naren mendapati sosok gadis yang familiar baginya sedang sibuk makan, dan dengan berani, ia berjalan pelan mendekati gadis itu. Ia mengetuk meja dengan pelan sambil bersuara, “Hana?”

Gadis yang sedang sibuk makan itu memperlihatkan wajahnya dengan jelas, keduanya saling bertatap mata.

“OHOK!”

“Eh, lo gak papa?” tanya Naren.

Hana melambaikan tangannya, “Gak papa, uhuk!” balasnya kemudian meneguk lemon tea. “Aku pikir dia bakal bentukan jamet alay kayak di instagram, tapi kenapa dia jadi ganteng cool begini?”

“Gue boleh duduk?” tanya Naren.

Hana mengangguk, “Iya iya!”

Naren kemudian mendaratkan bokongnya di kursi kosong di hadapan Hana. Suasana menjadi canggung dalam sekejap.

“L-lo gak pesan?” tanya Hana.

“Ah iya!” pekik Naren. “Gue pesan dulu ya?”

Hana mengangguk, dan Naren pun pergi hadapannya untuk memesan makanan juga. Hana mencoba untuk mengatur napasnya, “Perasaan di foto dia gak seganteng itu, deh? Cowok memang aneh.” batinnya lalu kemudian kembali menyeruput udon.

Setelah sekitar 3 menit, Naren kembali dan langsung duduk di hadapan Hana setelah menaruh makanannya di atas meja.

Naren mulai menaburkan cabe bubuk di atas udonnya sambil berusaha untuk memecahkan suasana canggung ini, “Jadi.. lo ada apa ke Jakarta? Liburan?” tanyanya.

“Ooh.. enggak. G-gue pindah.” jawab Hana canggung.

Naren tersenyum kecil, “Kalau masih awkward gue-loan, aku-kamu aja kayak biasa. Gak papa, kok.” ucapnya manis.

“Cih. Aku tau ya, orang sini itu kalau pakai aku-kamu malah baper.” balas Hana.

“Aku enggak? Kan emang waktu kecil kita gak pernah gue-loan?”

“Ya itu beda!” tukas Hana.

Keduanya terdiam, suasana kembali menjadi canggung.

Anyway... jadi kamu maksudnya kuliah disini gitu?” tanya Naren.

Hana mengangguk, “Iya.”

“Dimana?”

SM University.” jawab Hana.

Naren mengernyit, “Oh ya? Temen gue ada juga yang kuliah disitu. Temen deket juga. Paling beda jurusan kali ya?” timpalnya.

“Hem.” balas Hana. “Kalau kamu dimana?”

NEO University.” balas Naren.

“Enaknya, masuk PTN. SB tuh?” tanya Hana lagi.

Naren mengangguk, “Heem.”

“Jurusan?”

“Kedokteran.”

“Sinting.” gumam Hana.

“Hah?” pekik Naren yang tidak mendengar apa yang Hana ucapkan.

“Enggak.”

“Kamu sendiri jurusan apa?” tanya Naren.

“Arsitektur.”

Selepas mendengar jawaban Hana, pergerakan tangan Naren langsung berhenti. “Lah berarti yang dimaksud Jevon...”

“Kenapa bengong?” tanya Hana, membangunkan lamunan pemuda itu.

“Enggak.. temen yang aku maksud tadi itu, anak arsitektur juga di SM.” timpal Naren.

“Masa? Siapa?”

Naren tersenyum iseng, “Emangnya kamu udah ada teman di kampus? Waktu kecil aja kamu kan tertutup dan pemalu banget, hahaha.” usilnya.

“Ngeremehin aja lo.”

“Yeee,”

Lama kelamaan, suasana pun mulai mencair. Mereka pun mengisi waktu mereka untuk mengganti waktu 10 tahun yang hilang kemarin. Sangat tak disangka bahwa mereka bisa kembali dekat seperti dulu.

Mereka pergi ke toko buku, karena Naren sedang ingin mencari buku kedokteran yang disarankan oleh salah satu seniornya, namun tidak ada.

“Nanti cari yang di Matraman coba.” ucap Hana.

Naren tertawa, “Kamu baru dua hari disini, ngomongnya udah kayak orang yang lama tinggal di Jakarta.”

“Lo gak tau aja, tiap tahun gue kesini dari kecil. And I also have a good sense of direction, jadi hapal tempat.”

“Eh kamu katanya kemarin ketemu sama kak Yudhis, sama Wina?” tanya Naren.

“Oh iya, kemarin di Gramed PIM 2.” balas Hana.

Naren hanya tersenyum sambil mengangguk.

Setelah menyelesaikan makanan mereka, keduanya ingin berjalan-jalan di dalam mall.

Namun sebelum itu, Hana izin ke toilet sebentar untuk mengganti pakaiannya. Dress yang Bundanya berikan itu sangat tidak nyaman baginya sehingga ia harus menggantinya menjadi sepasang sweater dan celana jins.


Keduanya telah memutuskan untuk menyelesaikan “temu-kangen” mereka, dan hendak pulang ke rumah masing-masing.

“Aku antar kamu pulang ya? Sampai kosan.” cakap Naren.

“Gak usah..” balas Hana.

“Udah lah. Nanti kalau mamaku dan bundamu tau..”

“Iya deh, oke.”

“Oh yeah, jackpot!” batin Naren sambil tersenyum.

© hazelnutbbutter

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.30, Hana dan temannya, Jinan masih asik bersenang-senang di Pondok Indah Mall 2 karena om Eko masih belum menyelesaikan urusan bisnisnya di dekat sini.

Namun tidak apa, banyak yang dapat dilihat di mall ini, apa lagi karena om Eko meminjamkan kartu kreditnya dan mengizinkan ponakan kesayangannya berbelanja sepuasnya.

Bunda Hana adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Om Eko, adalah adik Bunda dan juga merupakan paman favorit Hana dan mas Tirta karena kebaikannya.

Om Eko sendiri punya dua anak, tetapi salah satunya, mas Joshua sudah menikah dan tinggal dengan keluarganya sendiri. Kemudian yang bungsu, Jonathan sekarang duduk di kelas 3 SMA.

Kembali ke cerita utama, Hana dan Jinan mengulur waktu di mall dengan menonton film The Box di bioskop tadi sore. Jadi sekarang mereka sedang sibuk window shopping di toko buku.

“Wih, koleksi komik disini lengkap banget!” seru Hana girang. “Eh, ini lagi diskon satu set weh!”

Jinan memutar bola matanya, “Katanya cuma mau cuci mata doang, gak mau belanja beneran..”

“Iya sih, tapi ini..”

“Cuy, mending kamu beli itu alat-alat yang emang disuruh beli sama seniormu.” ucap Jinan sambil menarik tangan Hana dan menjauhi rak komik menuju rak alat tulis.

“Penggaris 30 cm.. 50 cm.. eh apa beli yang 60 cm aja sekalian?” gumam Hana. “Ah, beli masing-masing ukuran satu aja, jadi ada 3. Biar gampang.”

“Anak arsi sultan abis dah.”

Hana sibuk mencari alat-alat tulis yang memang harus ia beli untuk kuliah, sementara Jinan hanya asik memandang hal lain dari sana. Sampai akhirnya matanya tertuju pada seorang pemuda dan gadis berambut pendek di sebelah pemuda tersebut.

“Hm? Kok kayak familiar..” gumam Jinan. Sepersekian detik kemudian, kedua bola matanya membesar. Ia menepuk-nepuk pundak Hana dengan cepat. “Na, Na, Na! Kata kamu, Naren punya satu abang, sama satu adek cewek kan?”

Hana tak berbalik ke arah Jinan, matanya masih tertuju pada tumpukan penggaris. “Hm. Kak Yudhis sama Wina. Kan aku pernah kasih liat fotonya.”

Yea, exactly. Makanya aku jadi tau muka mereka.” balas Jinan.

“Ya udah sih.”

“Yang itu kan ya?” tanya Jinan sambil menunjuk ke arah dua orang yang ia maksud berdiri di area rak buku.

Hana mengernyit, matanya pun ikut menyusuri arah dari jari telunjuk temannya.

“Anjir!” setelah melihat apa yang Jinan tunjuk, Hana segera menyembunyikan dirinya.

“Kenapa?” tanya Jinan. “Udah lama gak ketemu, sapa aja sih.”

Hana menggeleng, “Aku sama Naren kan gak pernah berhubungan selama ini, lucu juga nanti kalau mereka mikir darimana aku bisa tau muka mereka yang sekarang.”

“Alay deh.” ledek Jinan. “Tapi si Naren-Naren itu yang mana dong? Kok gak ada satupun juga yang mirip Naren sama mereka?”

Hana hanya diam. Ia perlahan mulai beranjak dari posisi jongkoknya.

“Mereka ke arah sini.”

“HAH?”

Dengan secepat kilat, Hana dan Jinan segera melarikan diri dari area alat tulis menuju area komik lagi.

“Mau beli apa lagi sih dek?” tanya Yudhis kepada Wina yang berjalan dengan girang menuju rak alat tulis.

Brush pen.” balas Wina.

“Apa lagi itu..” geram Yudhis. “Kalau gitu gue mau ke tempat komik aja ya. Mau baca One Piece.”

“Iye.”

Yudhis berjalan menuju area komik, ia melihat salah satu gadis yang familiar baginya. Ia ingat, itu perempuan yang ia lihat di instagram gara-gara kedua adiknya kemarin.

“Hana?” ujar Yudhis.

Oopsie daisy. Pada akhirnya Hana tertangkap juga. Ia baru sadar kalau Yudhis sudah berdiri di depannya, ditambah ternyata Jinan juga sudah menghilang entah kemana sehingga ia hanya sendirian disini.

“S-siapa ya?” tanya Hana, ia pura-pura untuk tidak mengenali pemuda yang ada di depannya ini.

“Ini Yudhis! Kak Yudhis!”

“Y-Yudhis siapa..?” Hana masih pura-pura tidak tahu.

“Kak Yudhis, kakaknya Naren masa gak inget sih? Naren kan temenmu waktu kecil di Balikpapan.” jawab Yudhis.

“O-oh! Kak Yudhis! Naren.. oh iya!” balas Hana gugup.

“Apa kabar kamu? Ada apa nih di Jakarta? Main-main doang atau gimana?” tanya Yudhis.

“Eeh-”

“Kayud!! Gue udah nih milih brush pen-nya. Bayar yok.” seru seorang gadis berambut pendek yang sudah pasti itu adalah Wina yang sedang berlari pelan menghampiri Yudhis.

“Pas banget. Eh dek, ini nih. Si Hana.” ujar Yudhis pada Wina.

“Hana?” tanya Wina. “Hana, Hana, Hana... oh kak Hana!”

“Hana inget gak? Ini Wina, adeknya Naren.” ujar Yudhis.

“Oh iya!”

“Wih sayang banget kak Naren gak ikut nih.” ucap Wina. “Kak Hana cantik banget!”

“Hahaha.. makasih..” Hana hanya bisa tertawa canggung sambil sibuk mencari keberadaan Jinan dengan matanya.

Yudhis menyadari itu. “Oh kamu lagi sama orang ya?”

“Iya kak, hehehe..”

“Ya udah, kalau gitu kita duluan dulu ya. Kapan-kapan ketemu lagi.” ucap Yudhis.

“Kak Hana nomornya berapa? Biar aku kasih kak Naren supaya bisa chat-an.” kata Wina.

“Eeh-”

“Sst. Udah. Kita ke kasir aja.” ucap Yudhis yang kemudian menarik tangan Wina menjauh dari pandangan Hana.

Akhirnya Hana bisa menghela napasnya. “Ya elah si Jinan pakai acara ngilang segala di saat-saat kayak begini..” batinnya.

“Hei! Gimana tuh ketemu sama calon ipar?” ledek Jinan yang akhirnya menampakkan batang hidung entah darimana di depan Hana.

“Dari mana aja sih kamu?!”

“Hehehe..”

© hazelnutbbutter