Rumah Naren

Mobil yang Naren dan Hana kendarai sudah berada di depan rumah dua tingkat berwarna krem ini. Pemuda itu memarkirkan mobilnya tepat di depan pagar rumahnya, kemudian mematikan mesin.

“Kalau Mama ngomong rada macem-macem, gak usah dipikirin ya.” ucap Naren pada Hana sebelum mereka membuka pintu rumah.

Hana cuma mengangguk kecil.

Pemuda itu pun membuka pintu tersebut. “Assalamualaikum, Naren pulaangg!”

Dengan canggung, Hana hanya bersembunyi di belakang Naren saja. Sampai akhirnya ia melihat buntelan bulu berekor yang menghampirinya.

“Meaw~” terdengarkan suara mengeong dari kucing berwarna oranye itu.

Naren berjongkok sambil mengusap-usap gemas kucing itu. “Halo, brader.” ucapnya.

“Kamu punya kucing??” tanya Hana antusias.

“Eh iya, kucing kampung sih. Emangnya aku gak bilang ya? Kamu takut kucing?” tanya Naren.

“Enggak sama sekali! Aku suka banget kucing!” girang Hana sambil ikut berjongkok. “Aku boleh elus?”

“Minta izin aja sendiri sama dia.”

“Siapa namanya?”

“Bleki.”

Hana memicingkan matanya dengan sebal terhadap Naren.

Naren tertawa, “Hahaha. Canda. Namanya Nero.”

“Jantan?”

“Betina.”

“Terus kenapa kamu panggil brader sih..” protes Hana dengan muka datar.

“Ya gak papa, sih.” tawa Naren iseng.

Saat keduanya sedang sibuk dengan Nero si kucing, Mama Yurina pun muncul dengan girang.

“Hana!! Halo sayang, udah lama banget gak ketemu, makin cantik aja~” sapanya antuasias sambil mencipika-cipiki Hana.

“Hehehe, iya tante. Apa kabar?”

“Baik.. baik banget karena kamu datang ke rumah!” balas Mama Yurina. “Papa, Kakak, Adek! Sini! Ketemu Hana!”

Drap drap drap

“Wih, ketemu lagi nih.” ujar kak Yudhis.

“Halo, kakak cantik!” sapa Wina.

“Wah, Hana sudah lama gak ketemu ya..” ucap Papa Candra.

Hana cukup kewalahan dengan tiga reaksi berbeda namun sama-sama antusias dari ketiga orang yang baru saja muncul itu.

“Mama tau kalian pasti sudah makan, tapi Mama mau Hana cobain rendang buatan Mama! Hana suka rendang kan?” tanya Mama Yurina sambil merangkul lengan Hana pergi menuju ke ruang makan.

Naren hanya mengikuti kedua perempuan itu dalam diam.

“Iya, tante.” jawab Hana.

“Eits. Jangan panggil tante. Panggilnya Mama aja.”

“Ma- ma..?” ucap Hana canggung. Ia langsung bertukar pandang dengan Naren, “Gimana nih?”

“Udah lah, pasrah aja.” balas Naren dengan gerakan bibirnya.

“Hana kosannya di mana?”

“Di dekat kampus, Kemayoran.” jawab Hana.

“Wah susah juga kalau mau main kesini bolak-balik Kemayoran-Pulo Gadung..”

“Gak jauh-jauh amat kok, ma.” timpal kak Yudhis yang sedang mengupas kulit salak. “Yang jauh itu ke NEO tuh, ke rumah kita di Kebon Jeruk. Ya gak, Ren? Untung aja sekarang masih libur jadi bisa melipir ke mama papa.”

“Eh iya ya.. kan nanti pas masuk kuliah Naren tinggalnya sama Kakak di Kebon Jeruk.. Nanti Hana sama siapa dong..” ujar Mama cemberut. “Tiap weekend, Naren pulang kesini ya.”

“Mam, mam.. apa gunanya dia tinggal di dekat kampus kalau pada akhirnya dia disuruh bolak-balik ke rumah..” protes Yudhis. “Naren anak kedokteran lho, ma. Bakal sibuk di kampus. Mana ada waktu buat bolak-balik Jakbar-Jaktim.”

Naren dan Hana yang ada disitu hanya bisa sama-sama diam sambil menikmati rendang dan nasi.

“Coba Hana sama Naren satu kampus ya..” cetus Mama yang membuat Naren menepuk jidatnya karena frustrasi.

Untung saja Hana pun menikmati rendang buatan Mama Yurina yang beneran enak. Mama Yurina bahkan membungkuskan lebih rendang dan masakan lainnya untuk Hana.

Ia tidak bisa berlama-lama di rumah Naren karena jam malam kosannya. Mama Yurina sebenarnya menyuruhnya menginap saja, bahkan Wina pun menawarkan Hana untuk tidur di kamarnya, tapi Naren kekeuh untuk membiarkan Hana pulang, ditemani juga dengan Wina untuk meminimalisir ke-negative thinking-an orang di kosan nanti.

© hazelnutbbutter