hazelnutbbutter

First Love.

Ya, cinta pertama. Hana pikir itu cuma akal-akalan drama romance biar ceritanya lebih “menarik” doang. Atau biar kesannya hidup orang-orang yang memiliki cinta pertama itu lebih.. berwarna.

Hana sendiri juga punya cinta pertama. Tapi ceritanya tidak seindah dengan apa yang ada di kebanyakan drama, atau menurut pengalaman kebanyakan orang pula. Ya tetapi tidak berarti kisah cinta pertamanya buruk. Cuma ya.. membosankan, dan sangat datar. Namun mungkin cukup realistis bahkan.

Namanya Narendra Jauzan Ardiansyah. Lahir pada tanggal 13 Agustus 2003, biasa dipanggil Naren. Anaknya pecicilan dan cukup easygoing, berbeda dengan Hana yang pendiam dan tertutup. Itu sih waktu mereka kecil.

Naren. Teman pertama dan teman laki-laki pertama seumur hidup Hana, as long as she can remember. Menurut memori Hana, mereka dari awal kenal karena orangtua mereka sendiri. Bunda Hana kenal baik dengan kedua orangtua Naren, karena mereka adalah rekan kerja. Hana dan Naren pun juga masuk di TK yang sama, bahkan kelas yang sama pula.

Long story short, 2 tahun berlalu. Selamat tinggal masa kanak-kanak. Ya sebenarnya dalam kurun waktu 2 tahun itu ada berbagai hal yang terjadi dan akan diungkap di sini secara perlahan.

Lagi-lagi, Hana sama Naren masuk ke ke sekolah yang sama. Mereka akhirnya satu SD, walau tidak sekelas. Waktu itu Hana sangat kecewa dan juga sedih karena tidak satu kelas dengan teman spesialnya itu. Terlebih lagi sejak TK, Hana sering di-bully secara verbal oleh teman-teman kelasnya. Jadi, ia nyaris tidak memiliki teman dekat di kelas saat kelas 1 SD.

Tapi lucunya, Hana juga tidak mengerti mengapa guru-guru dan teman-teman kelasnya tahu kalau ia dekat dengan Naren.

Ah iya.

Mereka selalu pulang bareng. Ya, Hana dan Naren satu mobil jemputan sewaktu itu. Sehingga tak jarang mereka selalu duduk berdampingan dan saling berbincang- atau mungkin lebih ke Hana yang mendengarkan Naren banyak cincong.

Hana kecil sangatlah pendiam. Setiap Naren mengajaknya bicara, ia hanya bisa memberikan senyuman tanpa membalas banyak. Karena menurutnya, melihat Naren yang terus berbicara itu cukup membawa kebahagiaan untuknya.

Suatu hari di libur kenaikan kelas, Naren dan Hana sedang bermain di playground kompleks seperti biasa mengingat keduanya tinggal di kompleks yang sama walau bloknya cukup jauh.

“Hana, jangan lupa datang ke pesta ulang tahun aku, ya!” seru Naren sambil memberikan secarik undangan kepada Hana.

Hana pun baru saja ingat bahwa Naren akan berulang tahun yang ke-7 sebentar lagi. Ia menerima undangan dari tangan Naren dan mengangguk sembari tersenyum.

Gadis kecil itu melihat ke arah di mana mbak asisten rumah tangganya duduk menunggu.

“Hana mau ke mbak?” tanya Naren.

Hana hanya mengangguk, namun Naren langsung mengerti. Ia segera memegang tangan Hana dan mengajaknya pergi menemui mbak Rani, asisten rumah tangga yang juga bertugas untuk menjaga Hana.

“Hana kenapa?” tanya mbak Rani dengan ramah.

Hana menyodorkan undangan pesta ulang tahun kepada mbak Rani. “Undangan ulang tahun? Wah, Naren ulang tahun?”

Naren mengangguk girang, “Aku bentar lagi 7 tahun!”

“Ini yang diundang siapa aja?” tanya mbak Rani pada Naren.

“Cuma Hana. Nanti pestanya sama Mama, Papa, Kak Yudhis, Dek Wina, Hana, mas Tirta, sama Bunda Ayahnya Hana. Mbak juga boleh ikut kok,” jawab Naren dengan antusias.

Hana menatap Naren dengan dalam sambil tersenyum melihatnya bersemangat seperti itu.

Mbak Rani membaca kembali lembaran undangan itu, “Hm? 13 Agustus? Naren, ini acaranya tanggal 13 Agustus?”

Naren mengangguk, “Aku ulang tahunnya tanggal 13 Agustus!”

Mbak Rani menatap Hana dengan perasaan cemas, “Emm.. tanggal 13 Agustus, Hana mau ke Surabaya buat ketemu nenek-kakek, kan?” ucapnya pada Hana.

Hana terkejut, sebenarnya ia tahu bahwa orangtuanya pernah bilang ia akan pergi mengunjungi kakek dan neneknya di Surabaya, namun ia tidak ingat kapan pastinya. Ia segera melihat reaksi Naren.

Naren hanya bisa diam.

Hana kembali melihat ke mbak Rani, “Mbak.. aku mau ke ulang tahun Naren..” ucapnya pelan.

Mbak Rani juga hanya bisa diam karena ia bingung.

“Hana gak usah ikut ke Surabaya, ya? Sama aku aja di sini?” pinta Naren.

Namun nihil. Hana benar-benar tidak bisa menghadiri pesta ulang tahun Naren yang ke-7 itu. Ia menghabiskan waktunya 3 minggu di Surabaya bersama keluarga, sampai ia mendapat kabar dari Bundanya bahwa keluarga Naren telah pindah ke Jakarta.

Hana bingung. Ia masih terlalu muda untuk mengerti arti dari 'pindah'. Sepulangnya dari Surabaya, ia segera meminta kakaknya, mas Tirta untuk mengantarnya ke rumah Naren yang ternyata sudah kosong.

Hana hanya bisa menangis kencang di depan rumah kosong itu, sehingga Tirta harus menggendongnya kembali pulang ke rumah.

Hana akhirnya terpaksa harus melanjutkan masa SDnya tanpa kehadiran Naren di sisinya.

4 tahun telah berlalu.

Hana sekarang sudah kelas 5 SD. Ia sekarang sedang membereskan kamarnya karena kamarnya akan di cat ulang. Ia kemudian menemukan sebuah amplop berwarna merah muda di dalam kotak kecil di bawah tempat tidurnya.

Ia membuka amplop itu.

Untuk Naren

Selamat ulang tahun Naren ganteng! Ini Hana. Maaf ya aku tidak bisa datang ke acara ulang tahun Naren yang ke 7 soalnya aku harus ketemu nenek sama kakek. Nanti aku kasih Naren kado deh kalau aku udah pulang dari Surabaya! Dadah Naren. I love you!

Hana

Hana tersenyum kecil sambil membaca kartu ucapan yang dulu ia buat untuk sahabatnya yang tidak dapat ia berikan kepada orangnya karena timing yang amat salah.

© hazelnutbbutter, 2021

In Hana's POV

First Love.

Ya, cinta pertama. Gue pikir itu cuma akal-akalan drama romance biar ceritanya lebih “menarik” doang. Atau biar kesannya hidup orang-orang yang memiliki cinta pertama itu lebih.. berawarna.

Gue sendiri juga punya cinta pertama. Tapi ceritanya tidak seindah dengan apa yang ada di kebanyakan drama, atau menurut pengalaman kebanyakan orang pula. Ya tapi tidak berarti kisah cinta pertama gue buruk. Cuma ya.. membosankan, dan sangat datar. Mungkin cukup realistis bahkan.

Namanya Narendra Putra Ardiansyah. Lahir tanggal 13 Agustus 2003, biasa dipanggil Naren. Anaknya seperti tipe anak yang suka backstreet.

Oke, itu udah kedengaran aneh banget. Jadi gue ceritain aja.

Naren. Teman pertama dan teman laki-laki pertama seumur hidup gue, as long as I can remember. Menurut memori gue, kita dari awal kenal karena orangtua kita sendiri. Nyokap gue kenal baik dengan kedua orangtua Naren, karena mereka adalah rekan kerja. Gue dan Naren juga masuk di TK yang sama, bahkan kelas yang sama pula.

Long story short, 2 tahun berlalu. Selamat tinggal masa kanak-kanak. Ya sebenarnya dalam kurun waktu 2 tahun itu ada berbagai hal yang terjadi dan akan diungkap di dalam AU ini secara perlahan.

Lagi-lagi, gue sama Naren masuk ke ke sekolah yang sama. Kita akhirnya satu SD, walau tidak sekelas. Waktu itu gue kecewa dan sedih banget karena tidak satu kelas dengannya. Terlebih lagi sejak TK aku sering di-bully secara verbal oleh teman-temanku. Jadi, aku nyaris tidak memiliki teman dekat di kelas saat kelas 1 SD.

Tapi lucunya, gue gak ngerti kenapa guru-guru dan teman-teman kelas gue tahu kalau gue dekat dengan Naren.

Ah.

Gue lupa. Kita selalu pulang bareng. Ya, kita satu jemputan sewaktu itu.