Catastrophe
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Sudah lewat 2 jam dari waktu yang dijanjikan oleh Naren kepada Hana. Selama itu pula Hana menunggu kedatangan pemuda itu di teras kediaman pamannya. Setelah menunggu selama dua jam tanpa kepastian, Hana akhirnya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah dengan perasaan kesal.
“Lho, Hana masih belum pergi?” tanya Om Eko yang bingung karena keponakannya itu masih belum meninggalkan rumah padahal sudah meminta izin untuk keluar jalan.
Hana menggeleng kesal, akhirnya ia memilih untuk duduk di sofa ruang keluarga, menemani Om Eko dan adik sepupunya yang masih dalam masa liburan, Jona yang sedang bersama-sama menonton televisi.
“Pi, gantian dong. Jona mau buka Netflix!” pinta Jona.
“Ah, kamu. Netflix bisa dibuka juga di laptop. Untuk apa coba Papi beliin kamu laptop?” tukas Om Eko.
“Berita juga bisa dinonton dan dibaca online kali, Pi!” protes Jona. “Mbak Hana, bantuin dong!”
“Kejadian ini terjadi pada jam 10.43 pagi ini, hari Selasa, 14 Juni 2022 di jalan Pasar Raya Minggu, Jakarta Selatan. Kecelakaan maut yang memakan 3 orang korban.–”
Suara yang dikeluarkan dari televisi itu sontak membuat Hana tertarik. “Jon, Om. Besarin TV-nya.”
“Ih, mbak Hana!” protes Jona.
Om Eko pun membesarkan volume televisi melalui remote di tengah anak bungsunya, Jona mulai ngambek.
“2 korban tewas di tempat, dan 1 korban luka berat. Ketiga korban dilarikan ke rumah sakit terdekat,”
Sekilas, Hana melihat sebuah mobil berwarna putih yang menurutnya sangat familiar. “I-itu kan.. mobilnya Naren..?” rintihnya.
“Hah? Maksudnya, Han?” pekik Om Eko kebingungan.
“O-om.. itu.. jalan Pasar Raya Minggu dimana..?” tanya Hana sambil berusaha menahan tangisnya.
“Kalau dari arah Jakarta Timur, bisa ke sini lewat jalan itu.” jawab Om Eko.
“Pulogadung di Jakarta mana, Om..?”
“Jakarta Timur..”
“O-om.. itu Naren.. harusnya aku sekarang pergi sama dia..” ringis Hana yang berusaha keras untuk menahan tangisnya namun pada akhirnya air mata itu menetes juga.
Om Eko yang mendengar hal tersebut, langsung segera beranjak dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil. “Hana, ayo. Kita cari teman kamu itu.”
“Pi, aku juga ikut ya.” ucap Jona.
Om Eko mengangguk, lalu mengisyaratkan kedua remaja itu untuk segera meninggalkan rumah dan masuk ke dalam mobil.
Hanya ada satu rumah sakit yang paling dekat dari tempat terjadinya kecelakaan tersebut, Om Eko langsung bergegas menyetir ke arah rumah sakit itu. Selama perjalanan, Hana sama sekali tidak bisa tenang. Ia terus menangis pelan sambil menggigiti kukunya karena cemas.
Sesampainya di rumah sakit, Hana langsung turun dari mobil bersama Jona sementara Om Eko mencari tempat untuk parkir. Mereka berlari ke arah UGD yang terlihat ramai orang.
“Ada yang bisa dibantu?” ujar perawat UGD tersebut dengan ramah.
“Na.. Naren..” rintih Hana yang mulai kesulitan untuk berbicara.
Akhirnya Jona mengambil alih tempatnya untuk berbicara, “Di sini ada korban kecelakaan yang dari jalan Pasar Minggu Raya itu gak, sus?” tanya Jona.
“Atas nama siapa pasiennya?” tanya suster itu.
“Naren..?” jawab Jona yang kurang familiar dengan sosok Naren itu.
“Narendra Jauzan.. Ardiansyah ya..?” balas suster yang mengecek data itu sembari mencuri pandang tidak enak terhadap kedua orang itu.
Hana mengangguk kencang. “Dimana, sus? Dimana?”
“Kita juga sementara mau hubungin keluarganya, tapi HP korban rusak jadi butuh waktu lama untuk diakses melalui datanya dari catatan sipil..” tukas sang perawat. “Ibu dan bapak keluarga pasien?”
“Saya cuma nanya dia dimana, sus!” tegas Hana.
Perawat itu meneguk air liurnya dan akhirnya menjawab, “Narendra Jauzan Ardiansyah, dinyatakan wafat pukul 11.00. Sekarang sedang berada di ruang jenazah sampai keluarganya bisa dihubungi.”
Setelah mendengar itu, Hana langsung terjatuh. Ia syok berat. “T-tapi 2 korban tewas di tempat, 1 luka berat..”
“Pak Narendra adalah korban luka berat, namun sesampainya di rumah sakit, dia tiba-tiba tidak sadarkan diri. Setelah pelaksanaan CPR, jantungnya sudah tidak berdetak lagi.” jelas perawat itu.
Jona berdecak, “Mbak, kita ketemu kak Naren aja ya? Kita pastiin. Biar kita bisa kasih tahu keluarganya.”
Hana mengangguk dengan berat. Kedua orang sepupu itu pun berjalan menuju ruang jenazah. Sesampainya mereka di dalam ruangan tersebut, rasanya berat sekali bagi Hana ketika membaca nama 'Narendra Jauzan Ardiansyah' beserta tanggal lahir dan tanggal wafatnya di atas jasad yang telah ditutupi oleh kain.
Setelah diperbolehkan oleh perawat penjaga ruangan untuk membuka kain jasad, Jona pun perlahan membuka kain tersebut.
Tepat saat kain itu dibuka, tampaklah wajah Naren yang terlihat seperti sedang sedikit tersenyum. Hana sudah benar-benar tidak tahu harus apa. Tangisannya semakin kencang, membuat Jona harus memeluk kakak sepupunya itu agar bisa lebih tenang.
Tak lama, Om Eko menyusul masuk ke dalam ruang jenazah. Ia juga sangat terkejut karena harus menyaksikan kejadian menyakitkan bagi keponakan paling dekatnya itu.
Hana mendekat ke arah wajah almarhum Naren dan berkata, “Naren.. kenapa kamu ninggalin dunia saat aku belum bilang kalau aku juga suka sama kamu.. Naren..”
Hana mulai kesulitan mengambil napasnya, sehingga Om Eko harus memanggil suster yang ada. “Sus! Tolong bantu dengan oksigen. Anaknya ada asma.”
“Iya, pak. Saya bawa ke UGD, ya.”
“Jona, kamu temenin mbak Hana ya. Papi mau hubungin tante Elana dulu biar keluarganya kak Naren tahu,” ucap Om Eko kepada Jona.
Jona hanya mengangguk mengerti dan menuruti arahan ayahnya.
***
Sekitar 20-30 menit kemudian, akhirnya keluarga Ardiansyah tampak di dalam rumah sakit. Om Eko pun menyambut dan menuntun mereka ke ruang jenazah untuk melihat jasad anak keduanya.
Mama Naren terlihat sangat terpuruk dan menangis keras, Papa Naren yang berusaha keras untuk menahan tangis, Wina yang juga menangis sembari menenangkan ibunya, serta Yudhis yang memalingkan wajahnya dari jasad sang adik karena tidak kuasa menahan tangisnya.
Dengan kedatangan keluarganya, jasad Naren akhirnya dapat dipindahkan ke rumah duka dan di sanalah, teman-teman Naren seperti Jevon, Hegar, dan Renan datang. Tidak lupa dengan teman-teman sejurusannya.
Hana yang sedang menangis di pojok ruangan itu pun didatangi oleh Jevon, Hegar, dan Renan.
“Han..” panggil Jevon pelan.
“Jev..” lirih Hana yang kemudian air matanya mengalir semakin deras. Ia memeluk Jevon dengan erat, “Jev, gue belum bilang kalau gue juga suka sama dia.. selama ini gue selalu mengabaikan perasannya yang tulus.”
Ketiga pemuda yang mendengar perkataan itu perlahan menitikkan air mata mereka. Hegar dan Renan pun ikut menenangkan Hana.
“Han, Naren tahu. Dia tahu kok perasaan lo gimana.” ucap Hegar.
Renan menepuk pundak Hana, “Jinan sama Yuna bentar lagi sampai buat nemenin lo. Atur napas ya, Han.”
Hegar dan Renan pun meninggalkan Hana dan Jevon berdua saja.
“Jev, dia mati karena gue.. dia mati karena mau jemput gue, dia mati karena gue selalu meremehkan perasaannya ke gue..” lirih Hana.
Jevon berdecak kesal, “Hana, udah. Naren gak pernah mikir kayak gitu. Dia benar-benar suka sama lo dengan tulus, karena lo apa adanya. Tidak peduli perasaan lo bagaimana. Tapi, dia tahu perasaan lo kok.” ucap Jevon. Ia lalu merogoh sakunya dan memperlihatkan chat di grup empat orang pemuda itu semalam.
“Ini semua salah gue..” ujar Hana.
© hazelnutbbutter, 2022