hazelnutbbutter

Semua kelas mata kuliah untuk hari ini baru saja berakhir. Di mata kuliah terakhir ini, Alesya jadi kepikiran dengan chat Ezra tadi yang mengajak bertemu di parkiran, berdua saja. Ia menatap Rosa yang sedang membereskan isi tasnya.

“Ros, gue lagi mau ketemu orang dulu sebentar, lo jalan aja ke gedung rektorat, nanti gue jemput disitu kalau udah kelar.” ucap Alesya. “Gak lama, kok.”

Rosa menatap Alesya dengan agak kosong, lalu mengangguk mengerti, “Ya udah, gue tunggu di gedung rektorat aja, ya. Mumpung gue juga sekalian mau jajan di kantin.”

“Oke deh,” jawab Alesya lalu segera pergi dari ruang kelas dan berjalan cepat agar tidak tertinggal lift. Tepat saat pintu lift yang hendak tertutup, kembali terbuka karena kedatangan Alesya. Ia melihat ada Ezra yang berdiri di pojok lift tersebut.

Alesya memasuki lift itu dan berdiri tepat di depan pintu, tidak mengindahkan keeksistensian Ezra. Lift pun bergerak turun dari lantai 3 ke lantai Ground, dan pintu lift itu pun terbuka setelah berbunyi 'ting!'.

Alesya melangkahkan kakinya keluar dari lift, lalu disusul oleh Ezra. Pemuda itu berjalan tepat di belakang Alesya yang menuju ke parkiran gedung departemen.

“Sombong amat, mbak.” ujar Ezra dari belakang, sambil terus berjalan.

Alesya menghentikan langkahnya lalu menghela napas kesal dan menoleh ke belakang, menatap Ezra. “Lo katanya ada mau ngomong sama gue, kan? Ngomong aja sekarang. Udah face to face, kan? Ribet amat segala mesti ketemu di parkiran.”

Ezra tersenyum, “Gak, tetap harus di parkiran.” ucapnya lalu berjalan mendahului Alesya menuju keluar gedung.

Dasar mak rempong. batin Alesya.

Keduanya pun sampai di parkiran dan berdiri di samping mobil Honda Civic hitam milik Ezra yang diparkir mundur tepat di bawah pohon yang teduh. Alesya berdiri di arah kap mobil, sementara Ezra terlihat sedang mengambil sesuatu di dalam mobil.

Tak lama, Ezra menampakkan kembali batang hidungnya sambil memegang sebuah buket berwarna rose gold yang berisikan bunga mawar putih, dan beberapa jenis cemilan.

Melihat itu, Alesya terlihat bingung dan sedikit terkejut.

“Tahu kan ini hari apa?” tanya Ezra. “Ini buat lo,” Ezra menyodorkan buket itu kepada Alesya sambil tersenyum.

Alesya melongo kecil karena terkejut, “Valentine..?”

Ezra mengangguk, “Hari kasih sayang.”

“Ya elah lo, emangnya kita ada hubungan apa?” ujar Alesya sambil tertawa kecil dan tak kunjung menerima pemberian Ezra. “Gak gini caranya kalau lo beneran mau berteman sama gue.”

“Teman?”

Alesya mengangguk, “Ini ceritanya lo mau platonic relationship sama gue, kan?”

Ezra tersenyum tipis. “Gue maunya sih bukan platonic ya, tapi romantic.” ujarnya yang lantas membuat Alesya membatu. Ezra sekali lagi menyodorkan buket yang ia pegang itu.

Alesya benar-benar terdiam membatu namun tangannya bergerak untuk menerima buket pemberian Ezra.

“Kejawab, kan? Percakapan kita minggu lalu? Yang lo nanya kenapa gue bela-belain bolos 2 mata kuliah buat ngurusin lo yang sakit.” papar Ezra. “Yang gue bilang kalau gue jawab pertanyaan lo itu, gue yakin lo gak akan suka dengan jawaban gue.”

Alesya mengangguk pelan, “I.. iya..?”

“Yang ini gak perlu dijawab kalau lo gak mau. Gue udah cukup senang kok dengan hubungan kita yang sekarang,” kata Ezra sambil tersenyum lalu menepuk lengan atas Alesya. “Gue pergi dulu, ya.”

Ezra pun masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari pandangan Alesya. Setelah kepergian 'teman spesial'nya itu, Alesya segera masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesin serta AC-nya. Ia berusaha untuk mengatur napasnya.

“WHAT THE FUCK JUST HAPPENED?!”

© hazelnutbbutter

Alesya mendengar suara bel yang berdering sampai ke dalam kamarnya. Awalnya ia tidak ingin menghiraukan suara bel itu karena berpikir itu hanya ulah anak-anak kecil yang nakal.

TING TONG!

TING TONG!

Argh, bener-bener dah.. gak tau orang lagi sakit juga..

Tampaknya itu bukan sekedar ulah bocah nakal, mengingat kompleks yang ditinggali Alesya cukup elite. Terlebih lagi bel itu terus berbunyi yang berarti benar-benar ada orang yang hendak bertamu.

Alesya menjadi kesal karena waktu istirahatnya diganggu tetapi ia tetap memutuskan untuk membuka pintu. Ia membalutkan selimut di sekujur tubuhnya dan mulai keluar dari kamarnya, menuruni tangga ke lantai 1 di mana pintu utama berada.

Sesampainya di depan pintu, ia mengintip dari jendela sebelum membuka pintu. Eh? Ngapain dia disini?!

Alesya segera membuka pintu, “Ngapain lo di sini?” sambutnya dengan ketus.

Ezra menatap penampilan Alesya yang terlihat pucat dan acak-acakan, dibalut dengan selimut. Ia menjadi khawatir. “Maaf nih, gara-gara gue lo jadi harus jauh-jauh buka pintu. Tapi gue dengar lo sakit, jadi gue kesini.” ucapnya.

Alesya tak mengindahkan ucapan Ezra, ia hanya memegang keningnya sambil bernapas dengan berat. “Ya udah, lo pulang gih.”

“Enggak, gue mau nemenin lo.” ujar Ezra. “Ingat kan, gue anak dokter?”

“Gue lagi gak mau dokter-dokteran sama lo, ya.” lirih Alesya.

Ezra berdecak kesal, ia melihat temannya itu mulai sempoyongan karena terlalu lama berdiri. Sebelum Alesya kehilangan keseimbangannya, Ezra dengan sergap menangkap gadis itu.

“Ck, udah. Gue bakal temenin lo.” tegas Ezra, sambil membawa masuk Alesya ke dalam rumah dan membantunya berbaring di sofa.

Setelah itu, ia berjalan kembali ke pintu utama untuk mengambil panci isi supnya yang ia taruh di lantai teras tadi dan membawanya ke dalam rumah.

“Itu apaan, anjir..” lirih Alesya yang melihat Ezra membawa sebuah panci dengan hati-hati.

“Pelet. Dengan ini, lo pasti bakal naksir sama gue.” balas Ezra.

Alesya menyengir dengan lemah, “Si anjir, gue lagi gak mood dengan kegaringan lo.”

Ezra menaruh panci itu di atas kompor. “Gue izin nyalain kompor lo, ya. Sekalian pakai alat makan lo.”

“Iya, dah.”

Ezra pun memanaskan panci sup itu dan menyiapkan mangkuk serta sendok bersih, lalu menuangkan sup hangat ke dalamnya. Mangkuk berisi sup itu lalu ia bawakan pada Alesya yang berbaring di sofa.

“Lo pasti belum makan, kan? Makan dulu ini yang anget-anget.” ucapnya sembari memegang mangkuk hangat.

Alesya membalikkan badannya, “Gak, ah.”

Ezra menepuk pundak Alesya. “Duduk dulu bentar.”

Karena sudah capek diajak bicara terus, Alesya hanya bisa menuruti Ezra. Ia pun berpindah posisi dari berbaring menjadi duduk di atas sofa. Ezra duduk di sampingnya lalu menyodorkan mangkuk tersebut.

Alesya berdecak kesal, “Ck. Gak mau. Gue pusing.”

“Gue suapin nih?”

“Anjir, geli.”

“Ya udah, makan dulu ini.”

“Dibilang juga gue lagi pusing.”

Ezra pun menyedok sup tersebut dari mangkuk, dan menyodorkannya ke mulut Alesya. “Aaa..”

Alesya menatapnya dengan tajam, lalu membuka mulutnya, “Aaa..”

Ezra menyuapkan sup itu pada Alesya. “Gimana?”

“Hm, enak. Ini lo beli supnya dimana?”

“Enak, kan? Nih. Lo habisin sendiri.” ucap Ezra lalu menyodorkan mangkuk itu kepada Alesya.

Gadis itupun mengambil mangkuk tersebut dan lanjut menikmati sup ayam tersebut. “Serius, enak. Lo beli dimana?” ucapnya di sela-sela mengunyah daging ayam.

Ezra tersenyum, “Baguslah kalau ternyata lo masih ada nafsu makan.”

“Si goblok, gue tanyain lo beli dimana dari tadi.”

“Seperti yang gue bilang, pelet. Alias gue bikin sendiri, resep almarhumah nenek.”

“Masa? Enak banget, serius.”

Ezra ikut tersenyum ketika melihat Alesya yang juga tersenyum karena kehangatan dari sup ayam spesial itu. Momen seperti ini telah ditunggu-tunggu olehnya, momen dimana keduanya tidak saling bersaing, melainkan sama-sama merasakan kehangatan.

© hazelnutbbutter

Sangat jarang bagi Alesya masih berselimut di pagi hari. Terlebih lagi sampai harus bolos kuliah di hari Senin yang memiliki mata kuliah 5+2 SKS.

Dari semalam, ia memang merasa meriang dan agak pusing diikuti dengan rasa mules di perutnya padahal ia tak merasa makan sembarangan.

Tok tok tok

Alesya mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Dari ketukan itu, ia tahu pasti itu adalah Bundanya.

“Iyaa,” jawab Alesya dari dalam kamar.

Krek

Pintu kamarnya pun terbuka, dan muncullah batang hidung sang ibunda dan diikuti oleh wajah sang ayah. Tampaknya keduanya sudah siap berangkat kerja dengan pakaian yang sudah rapi.

“Ale gak kuliah?” tanya Papi.

Alesya menggeleng, “Hari ini gak ada kuliah, dosen Arsitektur lagi ada seminar.” jawabnya bohong, ia tidak ingin orangtuanya tahu apabila dirinya sakit karena tak ingin mengganggu pekerjaan mereka.

Sang ibunda merasa ada yang tidak beres lalu mendekati anaknya. Ia memegang dahi Alesya dengan punggung tangannya, merasakan suhu.

“Panas, nak.” ujar Bunda. “Kamu sakit. Kita ke dokter, ya.”

Mendengar itu, Papi langsung ikut meraba kening Alesya. “Ih, iya. Kita ke dokter sekarang.”

Alesya menggeleng sambil menepis pelan tangan ayahnya. “Gak usah, aku cuma demam karena kedinginan aja kok. Nanti baikan sendiri. Bunda sama Papi berangkat kerja aja. Udah mau jam 7.30 lho ini, macet nanti.”

“Papi aja yang kerja, Bunda temenin Ale aja.” ucap Bunda.

Kring.. kring..!

Mendengar nada dering teleponnya, Bunda segera mengangkat telepon itu. Ia terlihat sedikit lelah mendengarnya. Setelah menutup telepon, Papi menanyakan keadaan.

“Kenapa, Bun?” tanya Papi.

“Ada klien Bunda kemarin yang datang pagi-pagi ini terus bikin ribut di kantor nyariin Bunda karena gak terima bayar denda. Pengen ngajuin banding lagi.” jawab Bunda sambil menghela napas.

“Ya udah, Bunda pergi aja. Biar Papi yang temenin Ale.” ujar Papi. “Lumayan, bisa cuti sehari, hehe.”

“Hmm.. ya udah. Papi jagain Ale, ya.” kata Bunda lalu mengelus kepala Alesya, dan pergi dari kamar.

“Papi juga pergi kerja, deh. Kejahatan tidak pernah libur, tau.” timpal Alesya tepat setelah kepergian Bunda.

“Hahaha,” tawa Papi.

“Serius, Pi. Aku mau rebahan seharian sambil nonton drakor hukum biar bisa Papi komentarin lagi,” balas Alesya.

“Yakin bisa ditinggal sendiri?” tanya Papi.

“Iya.. nanti juga ada Rosa yang jenguk kalau dia sempat.” jawab Alesya.

Papi pun mengangguk, “Ya udah, Papi ambilin kamu obat dulu baru pergi kerja.”

Alesya ikut mengangguk, membalas ucapan sang ayah.

© hazelnutbbutter

Setelah hampir setengah jam menunggu Ezra untuk kembali, yang ditunggu akhirnya pulang juga ke rumahnya. Alesya dapat mendengar suara garasi yang terbuka, lalu tak lama pintu belakang dari arah garasi pun juga terbuka.

“Abang!” seru Eca yang menyadari kepulangan abangnya lalu berlari ke sumber suara.

Alesya yang tadinya sedang bermain berhadap-hadapan dengan Eca pun ikut menoleh ke belakang setelah melihat reaksi Eca.

Ia melihat gadis kecil yang berlari ke pelukan abangnya itu. Sang abang, Ezra pun langsung menggendong adik kecilnya sebagai sambutan.

Ah, akhirnya gue bisa stop neror dia buat pulang. Batin gadis berumur 19 tahun itu. Ia beranjak dari karpet, lalu berjalan ke arah Ezra. “Tugas gue udah selesai, kan? Gue pulang, ya.” ucapnya sambil mengambil tasnya di atas sofa.

“Eh jangan du-”

Eca memotong ucapan abangnya dengan berseru, “Kakak Ale jangan pulang!”

Alesya menoleh ke arah Eca karena kaget akan ditahan pulang oleh si gadis cilik yang ia temani seharian.

“Iya, jangan pulang dulu. Makan malam dulu disini,” timpal Ezra.

“Eca sama Kakak Ale sudah makan malam!” potong Eca. “Kakak Ale ayo main sama Eca aja!”

“Emang iya udah makan?” tanya Ezra, memandang ke arah Alesya.

Gadis itu tak membalas kontak mata sang pemuda dan hanya menjawab dengan sarkas, “Menurut lo? Udah jam segini juga.” sarkas Alesya. “Sori nih, tapi gue mesti pulang, udah dicari bokap. Besok juga kuliah.”

Ezra menatap perempuan itu dalam diam, “Gue anterin lo pulang sampai rumah, deh.” ucapnya lalu menurunkan Eca ke lantai. “Udah malam, jalanan gelap.”

“Gak usah ngide lo. Rumah gue dekat, ya.” balas Alesya ketus.

Ezra menggigiti bibirnya, gimana, ya caranya biar gue bisa nahan dia lebih lama? pikirnya.

“Kakak Ale beneran mau pulang?” tanya Eca yang memeluk betis Alesya.

Alesya pun berjongkok untuk menyamakan pandangannya ke Eca, “Iya, kakak Ale mau pulang. Sudah dicari sama orangtuanya kakak.”

“Dicari Mama Papa kakak Ale?” tanya Eca.

Alesya mengangguk, ia mengelus kepala Eca. “Nanti lain kali kakak Ale main sama Eca lagi,” ucapnya lembut.

Ezra memandang Alesya dengan dalam, lalu tersenyum kecil. Ternyata cewek ini tidak seburuk yang ia kira dalam memperlakukan anak kecil despite being anak tunggal. Rasanya adalah keputusan yang baik untuk meminta tolong kepadanya.

Alesya berjalan ke luar rumah sambil menenteng tote bag-nya. Ezra dan Eca ikut keluar rumah sambil bergandengan tangan, mereka mengantar Alesya sampai masuk ke dalam mobilnya.

Setelah menyalakan mesin dan lampu mobilnya, Alesya menurunkan jendela dan melambaikan tangannya ke arah Eca, tak menghiraukan Ezra sama sekali.

Ini orang, masih aja.. Ezra membatin.

“Dadah, kakak Ale!” Eca melambai-lambaikan tangannya.

“Dadah, Eca~”

“Makasih ya, Le hari ini,” ucap Ezra. “Hati-hati di jalan.”

“Sama-sama.” balas Alesya dengan cool lalu akhirnya pergi menjauh dari pandangan kedua bersaudara ini. Mereka pun kembali masuk ke dalam rumah, Eca berlari ke depan TV sementara Ezra berjalan ke arah dapur setelah mengunci pintu.

Ia merasa lapar karena belum makan malam sebab kelamaan di jalan. Tadinya selagi masih di Bogor, ia ingin membeli oleh-oleh khas kota tersebut, Lapis Talas Bogor namun sayangnya toko yang ia datangi sedang tutup dan tidak ada waktu untuk mencari toko lain soalnya ia harus segera pulang ke Jakarta.

Saat hendak membuka kulkas, ia melihat sesuatu di atas kompor dapurnya. Ada sebuah wajan yang tertutup dengan selembar kertas yang menempel di tutupnya bertuliskan, 'Sori nih gue lancang pakai bahan-bahan di kulkas lo buat gue bikin nasi goreng. Tadi Eca sudah makan, ini masih ada buat lo.'

Ezra menutup mulutnya, berusaha untuk menahan senyumnya yang mulai melebar, Ini cewek makin lama, makin berbahaya buat jantung gue.

© hazelnutbbutter

Alesya berjalan menuju parkiran gedung departemennya, ia melihat satu mobil Toyota Raize warna silver yang baru saja terparkir dari kejauhan. Ia mendekati mobil itu, dan tak lama seorang pemuda sebayanya keluar dari mobil tersebut.

“Alesya, bukan?” tanya pemuda itu.

“Iya,” jawab Alesya.

“Salken, gue Ares. Temannya Ezra.” ujarnya. “Kita satu SMA kok, kalian MIPA 1, gue MIPA 2.”

“Oooh.. iya,” Alesya hanya mengangguk dengan canggung.

Ares merogoh sakunya lalu mengeluarkan sebuah kunci dan memberikannya kepada Alesya.

“Ini kunci rumahnya. Lo parkir mobil lo di depan rumah aja, gak papa.” ucap Ares.

“Oke, terus carseat-nya?” tanya Alesya.

“Mobil lo yang mana? Sini gue pasang.”

Setelah itu, Ares pun melepaskan carseat dari mobilnya dan memasangnya pada mobil Alesya, serta menunjukkan cara menggunakannya.

“Sebenarnya gak papa sih kalau gak pakai carseat toh Eca sudah agak gedean, tapi keluarganya Ezra cari aman aja dulu sampai dia masuk SD.” jelas Ares.

Alesya hanya mengangguk. “Ada saran, atau tips and trick gak buat gue? Gue jujur gak terlalu berpengalaman babysitting.”

“Kalau sama gue Eca cuekan sih, pas sama abangnya baru hepi. Tapi ya gak tau kalau sama lo kan ya?” balas Ares. “Yang penting lo jangan masak aja kalau dia gak tidur. Pas dia masih melek, ikut main aja terus.”

“Emangnya gue harus masak?”

“Ya enggak, sih. Kalau lo lapar tinggal delivery aja atau beli sebelum sampai rumah.”

“Eca gak ada alergi kan ya?”

“Gak ada, dia makan apa aja. Tapi tetap perhatiin juga makanannya. Keluarga dokter soalnya.” jawab Ares.

Alesya pun mengangguk, “Oke, kayaknya udah cukup. Makasih ya.”

“Sip, kalau ada yang mau ditanyain tanya gue, atau Ezra aja.” ujar Ares.

“Oke,”

© hazelnutbbutter

Ezra sedang berada di ruang keluarga di kediamannya sambil mengemper di atas karpet, menonton film sembari mengerjakan tugasnya di coffee table.

Ia melihat ke arah jam dinding yang ada di sebelah barat pandangan awalnya, melihat waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 malam.

Ia langsung mengebut semua pekerjaannya sampai selesai hanya dalam 1 jam saja dengan mindset “gak boleh tidur lewat dari jam 1 karena besok masuk pagi”.

Pukul 12.30

Ezra sudah bersiap-siap untuk kembali ke dalam kamarnya untuk tidur, namun di saat ia sedang merapikan alat-alat tulisnya, sosok makhluk kecil muncul dari arah barat laut sambil mengucek-ngucek matanya.

“Adek udah bangun? Lama banget lho tidurnya.. habis ngapain aja di TK?” tanya Ezra dengan nada lembut mengingat adiknya tidur sejak sore, saat dijemput pulang TK dan diajak jalan-jalan ke mall oleh dirinya.

“Abang..” ucap sang adik dengan lemas karena baru saja bangun.

“Iya?”

“Es krim..”

“Hah?”

“Es krim Eca..”

Ezra lantas menepuk jidatnya. Ia lupa telah menjanjikan adiknya es krim hari ini yang seharusnya ia beli saat pulang dari mall tadi sore, namun ia lupa karena buru-buru pulang ke rumah sebelum macet karena rush hour di sore hari.

“Aduh.. abang lupa.. besok aja ya?” bujuk Ezra.

Eca menggeleng dengan raut wajah terlihat seperti sedang menahan tangis.

“Eh.. adek..”

“HUEEEE!!! Eca mau es krimnya sekarang!!”

“Aduh.. ini udah larut, dek..”

“ECA MAU ES KRIM!!”

Ezra menghela napasnya, kemudian melihat jam dinding dan segera mengambil jam tangan, jaket, dan kunci mobilnya di kamarnya. “Ya udah, ini kita pergi beli es krim ya?”

“YEY!! ES KRIM!!” seru Eca yang air matanya langsung berhenti begitu saja.

Wajar saja Eca jadi drama begini, mumpung orangtuanya lagi pergi ke luar kota. Karena Eca hanya memiliki jatah makan es krim sebulan sekali, awalnya ia berpikir bisa diam-diam makan es krim karena orangtuanya sedang tidak ada, tapi ternyata abangnya sama ketatnya.

Ya, mau tidak mau Ezra harus membawa Eca pergi membeli es krim di minimarket terdekat rumahnya. Gagal lah rencananya untuk tidak tidur lewat dari jam 1.

© hazelnutbbutter

Ezra menghela napasnya setelah melihat pesan dari dosen mata kuliah Fisika Bangunan kelasnya, Pak Dodo. Kelas terakhir yang ia ikuti tadi sebelum buru-buru berjalan ke luar gedung menuju parkiran. Ezra sejujurnya sangat bimbang terlebih lagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 14.32, dan itu artinya ia harus segera pergi menjemput Eca di TK nya yang akan tutup jam 3 sore.

Namun Ezra masih memiliki kewajiban sebagai ketua kelas B Fisika Bangunan, maka ia segera mempercepat langkahnya ke ruangan dosen.

“Pak Dodo kan dosen muda, pasti orangnya to the point.” pikirnya.

Sesampainya ia tiba di ruangan Pak Dodo, ia sedikit terkejut ketika menemui Alesya di sini.

“Ngapain lo?” bisik Ezra.

“Dipanggil Pak Dodo.” balas Alesya dengan berbisik.

“Lo kan ketua kelasnya Pak Rahmat ngapain ke Pak Dodo?” tanya Ezra lagi sambil berbisik.

“Ya gue mana tau, makanya dipanggil biar tau, goblok.” bisik Alesya kembali.

Tak lama, Pak Dodo pun menampilkan batang hidungnya. Ezra yang mulai cemas dengan waktu yang terus berjalan ini, terus-terusan melihat jam tangannya sambil menggigiti bibirnya yang mulai mengering.

Alesya menyenggolnya, “Lo kenapa, sih?!” bisiknya.

“Langsung saja, karena saya masih ada satu kelas lagi.” ucap Pak Dodo. “Jadi hari Senin depan ada kuliah umum, tamu dari luar dengan topik fisika bangunan yang bertepatan dengan mata kuliah fisika bangunan itu sendiri. Kuliah umum ini tidak wajib, jadi tolong kalian kumpulkan daftar siapa saja mahasiswa yang bersedia mengikuti kuliah umum. Jangan bilang-bilang kalau yang ikut dapat nilai plus.”

Alesya mengangguk, “Ooh.. baik, pak.”

“Ezra bisa, ya?” tanya Pak Dodo.

“Iya, pak bisa.” balas Ezra.

Pak Dodo pun beranjak dari kursinya lalu langsung pamit, “Sudah, itu saja. Saya pergi dulu.” pamitnya lalu segera menghilang dari pandangan dua remaja itu.

Ezra dan Alesya sama-sama berjalan keluar ruangan dosen, “Fyuh, untung gak lama.” ucap Ezra.

“Eh, kalian!” sahut sosok pria umur 50-an yang mengangkat tangannya ke arah Ezra dan Alesya.

Oh, now what.. batin Ezra setelah menyadari bahwa pria itu adalah dosen Studio Perancangan kelas keduanya.

“Sore, pak..” sapa Alesya ke Pak Tresno.

“Sore, Alisa..”

“Alesya, pak.”

“Alesa..” ucap Pak Tresno lagi. “Boleh saya minta tolong? Tolong bawakan tugas-tugas kalian yang tadi dari meja saya, ke parkiran mobil.”

Ezra sudah ketar-ketir tapi ia tidak enak sama dosennya sendiri. “Baik, pak.” jawabnya. Ia pun mengikuti langkah kaki Pak Tresno kembali ke ruangan dosen. Saat Ezra hendak berbicara pada Alesya, ia menyadari bahwa cewek itu sudah menghilang entah kemana.

ALE!!!!!!

© hazelnutbbutter

Hari Senin pagi adalah waktunya kelas mata kuliah Studio Perancangan Arsitektur. Hari di mana bawaan para mahasiswa semester 3 sudah kayak pedagang pasar, saking rempongnya. Hiperbola, sih. Seperti hari-hari biasanya, Rosa selalu nebeng di mobil Alesya toh mereka satu kelas terus dan rumah mereka juga tidak terlalu berjauhan.

Alesya memarkirkan mobil Suzuki Baleno putihnya di samping kanan mobil Honda City hitam, lalu mematikan mesin dan membuka pintu mobil untuk mengambil barang di jok belakang.

“Sya, ini mobilnya Ezra gak sih?” tanya Rosa karena ia turun bertepatan dengan mobil hitam itu.

Alesya berjalan ke arah mobil hitam itu, membaca plat nomor mobil itu. B 2304 EZ. “Iya, bener.”

Rosa tersenyum usil, “Hooh, yang katanya 'frenemies' tapi kenal plat nomornya.. hihihi,” usilnya.

Alesya memutar kedua bola matanya karena sudah cukup lelah dengan ucapan-ucapan Rosa yang seperti itu. “Ya elah, itu dia jelas banget plat-nya custom. Tuh, 2304, 23 April alias ulang tahunnya. EZ, Ezra.” jawab Alesya letih sambil mengambil barang di mobilnya kembali.

“Tau aja lo ulang tahunnya,” goda Rosa lagi.

“Gue pernah satu kali diundang ke pesta ultahnya waktu SMP. 23 April 2017. Waktu itu gue harusnya ada les privat buat fokus UN, tapi orangtua gue batalin karena suruh ke pestanya dia.” balasku. “Kampret.”

“Les privat buat fokus UN di kelas 8?” Rosa menggeleng-gelengkan kepala capek, “What did I expect from you..”

Setelah sama-sama membawa barang dari mobil dan berjalan menuju gedung departemen, tentu saja mereka tidak hanya diam-diam saja ketika berjalan. Walau Alesya maunya begitu.

“Punya pesta ulang tahun, bahkan pas SMP. Rich kid behavior banget gak sih si Ezra?” pancing Rosa. “Bokap nyokapnya kerja apa, dah?”

“Dokter. Nyokapnya dokter spesialis saraf, kalau bokapnya spesialis jantung.” balas Alesya datar.

“Lo tahu banget Ezra, ya~!” ucap Rosa dengan semangat.

Alesya menghentikan langkahnya, “Sekali lagi lo bahas Ezra, gue gak bolehin lo nebeng lagi seumur hidup!”

“Ih... jahat.”

Tak lama setelah berjalan dalam diam, mereka pun sampai di dalam ruang kelas studio. Dan benar, Ezra sudah ada di dalam ruangan, duduk di posisi kesukaannya, tepat di jejeran AC sembari menggambar di kertas A3 tugasnya.

Alesya menaruh tote bag dan tas gambarnya di tempat duduk andalannya, di barisan paling depan, tepat di depan meja dosen. Kemudian ia berjalan ke meja Ezra dan mengulurkan tangannya, “Mal.”

Ezra menghela napasnya, lalu mengulurkan mal interior miliknya. “Ntar gue gantiin kok punya lo...”

Alesya hanya mendengus kesal dan langsung kembali ke mejanya setelah menerima mal interior milik Ezra.

Oke, jadi permasalahan mal interior.. sekitar 2 minggu lalu pada mata kuliah ini, Ezra mal interior yang ia pesan di toko online belum datang, jadi ia meminjam mal interior milik Alesya terlebih dahulu. Alesya yang kebetulan lagi baik saat itu, ia pinjamkan saja mal interior merk Rotringnya itu pada Ezra. Hari itu, Alesya lupa menagih barangnya pada Ezra dan langsung pulang. Akhirnya, Ezra gunakan kesempatan ini untuk mengusili Alesya dengan agak lama.

Ya, sebenarnya mal interior Rotring milik Alesya yang harganya sama dengan 20 porsi batagor itu aman di rumah Ezra. Cuma ya, Ezra pengen ngusilin Alesya saja. Tapi alhasil, Alesya berpikir kalau Ezra menghilangkan barangnya betul-betul.

“Andai lo tahu, Le..” gumam Ezra.

© hazelnutbbutter

Pukul 9 malam.

Hari ini adalah hari Selasa, tanggal 27 September 2022. Hanya dalam beberapa jam, hari akan berganti tanggal menjadi tanggal 28 September. Tahun ini, Hendy akan berumur 21 tahun. Setelah 3 tahun merantau jauh dari keluarganya di Makassar, ini adalah yang ketiga kalinya ia merayakan ulang tahun tanpa kehadiran keluarganya. Tapi Hendy suah terbiasa menghabiskan 3 tahun ini bersama teman-teman, sahabat-sahabat terbaiknya di kosan SM House.

Di kamar Maraka, Maraka berhasil membuat Hendy berlama-lama di dalam kamar 102 dengan iming-iming “bantu mengeditkan video tugas”. Padahal video tugas itu sudah lama Maraka kumpulkan setelah ia sendiri yang edit.

“Ah kau juga sudah dibilang kalau masih pemula nda usah sok-sokan pakai Premiere Pro sama Final Cut Pro juga! Dibilangin pakai mi Filmora saja atau iMovie.” omel Hendy yang sudah mulai keluar lagi logat Makassarnya.

“Ya habisnya kayaknya lebih bagus kalau pakai yang advanced gitu..” ucap Maraka.

Hendy berdecak kesal, “Udah, ini edit ulang. Pakai Filmora aja. Toh cuma perlu di cut-cut sisanya.”

“Sama kasih lagu.” timpa Maraka.

Hendy hanya menyengir kesal. “Ini gue color correct in dulu,” ucapnya lalu mengerjakan pekerjaan.

Setelah sekitar 1 jam lebih sedikit, Hendy sudah beres meng-color correct video Maraka.

“Nah sekarang, lo cut-cut sendiri aja, kan udah tau. Gue mau tidur dulu.” ucap Hendy lalu hendak meninggalkan kamar Maraka.

Maraka lantas terkejut dan segera mencegahnya untuk meninggalkan kamarnya. “Lo tidur di sini aja dah.” ucap Maraka. “Kamar lo kan berantakan, dan kasur juga empukan kasur gue.”

Hendy sejujurnya bingung, tapi karena dia sudah terlalu capek sepulang kampus dan rapat organisasi, jadi ia menurut saja pada Maraka. Akhirnya, Hendy berhasil tertidur di kamar Maraka.

BINGO! Ia masuk dalam jebakan.

Setelah memastikan Hendy betul-betul terlelap, ia perlahan membuka pintu, lalu mengintip ke arah kamar Hendy. Di sana, ia melihat gerak-gerik Lukman dan Junedi yang kalang kabut mulai mendekorasi kamar Hendy.

Tak lama, Jiya pun datang dengan kotak kue tangan kirinya, lalu beberapa paper bag berisikan kado, dan pembungkusnya di tangan kanannya. Maraka segera menyuruhnya masuk ke kamar Juned untuk memasukkan kue tersebut di dalam kulkas. Setelah itu, Jiya pun terus menetap di kamar Junedi untuk membungkus kado.

Tak disangka, Hendy betul-betul terlelap. Maraka bahkan yakin sepertinya Hendy lupa akan ulang tahunnya sendiri. Karena memang ia baru saja pulang dari rapat organisasi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.40.

Maraka sudah waswas apabila Hendy tiba-tiba terbangun. Apa lagi, dari kamarnya tadi ia mendengar suara Lukman dan Junedi yang sedang cekcok karena Lukman meledakkan balon terus. Untungnya tidak terdengar terlalu jelas, cukup samar-samar saja. Ia yakin pasti Hendy tidak mendengarnya.

Sudah waktunya Maraka membangunkan Hendy. Ia menepuk pelan temannya yang terlihat lelah itu dan mulai berbicara pelan, “Hen.. ini editannya kayaknya kehapus, deh..”

Lantas Hendy langsung terbangun sadar, “HAH?!” pekiknya. “WOI ITU SAYA SUDAH LAMA SEKALI NGE-COLOR CORRECT-INNYA! Apa kau pencet kah?!”

“Tadi gue, close software-nya bentar karena mau restart laptop gue yang ngadet.. eh terus gue lupa kalau editannya belum di-save...”

Hendy berdecak kesal, “Ah, salah lo itu mah. Tapi coba aja buka lagi software-nya. Biasanya ke-auto save itu.”

Maraka berpura-pura membuka kembali software editing itu, “Gak ada, Hen..”

Hendy sudah memelototi Maraka tajam-tajam, “Coba sini.”

Ia berusaha mengembalikan file yang hilang itu walau sedikit mustahil karena sebenarnya di luar photo and video editing, Hendy itu gaptek. Hahaha. Akhirnya Hendy kesal sendiri dan merasa masa bodoh lalu kembali berbaring di kasur.

Maraka melihat kembali pada jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 11.55.

“Kita, keluar dulu yok bro. Cari angin, lihat bintang.”

“Emang sekarang jam berapa?”

“Udah mau jam 12,”

Hendy mengangguk setuju.

Kedua pemuda itupun keluar dari kamar 102 dan berdiam di depan koridor sembari bersandar pada pembatas balkon, “Gak dirasa kita udah tahun ketiga kuliah.” ucap Maraka.

“Hooh, semester depan udah skripsian aja.” timpa Hendy.

Maraka kembali melihat jam tangannya, “Kayaknya udah dulu deh Hen. Lo balik aja ke kamar lo.”

“Oh, ya udah.” ucap Hendy lalu berjalan menuju ke kamarnya. Ia merasakan bahwa Maraka mengikutinya ke ujung koridor. “Lo ngapain, anjrit?”

“Pinjem panci Indomie lo dong, hehehe.”

“Yee, bangsat.” Hendy pun sudah tepat berada di depan pintu kamar 104 miliknya, lalu membuka pintu itu.

“1.. 2.. 3.. SURPRISE!

Hendy terdiam dan mulai memproses semua ini, “OH GUE ULANG TAHUN?” pekiknya.

“Yeee, si bangsat goblok.” cibir Junedi.

Senyuman pun mulai terukir kembali di wajah Hendy, “Hahaha, oh jadi itu tadi si Maraka.. OOH.. HAHAHAHAHAH!”

“Si goblok udah makin gak waras karena rapat organisasi.” cibir Lukman.

“Tau,” tukas Maraka.

Happy birthday, Hendy.. Happy birthday, Hendy..” selang beberapa detik, Jiya pun muncul sambil membawakan kue dengan lilin yang sudah dinyalakan.

“HABEDE, HEN!!”

Akhirnya setelah beberapa jam di perjalanan menggunakan angkutan kota yang di-charter, keempat sahabat dan sang Bapak Kos kini telah sampai di tujuan.

Kelima pria itu turun dari kendaraan tersebut, Hendy turun yang paling duluan dan berjalan mendekati sebuah pohon lalu mengomel terhadap tumbuhan itu.

“Demi apapun, perjalanan hampir 3 jam, pakenya pete-pete* yang panas sekali.” dengusnya.

*Pete-pete : sebutan angkot/mikrolet di Makassar, Sulawesi Selatan.

Junedi yang menghampirinya dengan heran berkata, “Ngapain sih lo?” tanyanya sambil menepuk pundak Hendy.

Hendy hanya mendengus kesal dan tak menjawab.

Di sisi lain, pak Kadir sudah mulai berjalan sembari diikuti oleh Maraka dan Lukman di belakangnya.

“Udah ah, entar kita ketinggalan, nyasar lagi.” ucap Junedi kepada Hendy, yang bermaksud untuk mempercepat langkah kaki Hendy menuju ke letak tempat acara yang persis.

“Sadar gak sih lu, si Lukman hari ini kayak lemes banget?” tanya Maraka saat ia sadar bahwa Hendy dan Junedi sedang berjalan berdampingan dengannya, namun sementara Lukman berjalan di depan lebih dulu bersama dengan pak Kadir.

“Ya wajar aja sih. Siapa coba yang gak galau datang ke lamaran mantan, itu pun bukan sebagai tamu. Tapi jadi babu.” tukas Hendy.

“Cangkemmu.” tegur Junedi sambil memukul pelan mulut Hendy.

“WOI, BANGSAT!”

“Heh, tapi kan bukan Jiya yang mau lamaran..” bisik Maraka, mengingatkan kedua pemuda dengan ingatan Dori itu. Sebagai reaksi, mulur Hendy dan Junedi terbuka dengan lebar karena mereka nyaris melupakan fakta tersebut.

“Ya setidaknya dia jadi dandan sih, demi ketemu mantan setelah berapa lama.” ucap Junedi.

Keempat pemuda F4 SM House ini sibuk melakukan pekerjaan fisik dalam persiapan acara ini, sampai-sampai mereka bahkan tidak sempat bertemu dengan pihak keluarga yang mau dilamar. Namun akhirnya mereka mendapatkan waktu istirahat yang membuat keempat dari mereka duduk di kursi-kursi yang mereka tata di bawah tenda.

“Keluarga cowoknya belum datang kan, ya?” ucap Lukman.

Ketiga orang di hadapan dan samping Lukman hanya diam sambil sedikit menahan tawa mereka. “Belum, Man. Paling agak pas sebelum Dzuhur.” balas Maraka.

“Kita sapa keluarga ceweknya dulu aja. Dari tadi gak ketemu-ketemu, kita belum kasih selamat.” usul Junedi, yang mengundang rasa setuju bagi yang lain, kecuali Lukman.

“Kalian aja deh, gue di sini aja. Capek gerak.” katanya.

Junedi mengedikkan kedua bahunya, lalu ia bersama Maraka dan Hendy pun masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Lukman tetap terduduk pada kursi di bawah tenda itu.

Tak jauh dari pandangannya, ia melihat sosok berambut pendek dengan celana ripped jeans yang keluar dari dalam rumah ke arah tenda. Ia tahu persis siapa orang itu. Namun, ekspresi Lukman menjadi bingung mengapa Jiya belum berpakaian layaknya orang yang dilamar? Tapi itu bukan urusannya, dia bukan siapa-siapa selain penghuni kos dari om cewek yang mau dilamar.

“Lukman?”

Mendengar suara itu, sang empunya lantas merinding. Entah karena suara berat yang terdengar menyeramkan, atau karena itu suara mantan.

“Lo ngapain di sini sendirian? Yang lain pada masuk tuh.” ucap Jiya.

Lukman memutar bola matanya, “Padahal mereka mau selametin yang mau lamaran, eh tapi orangnya malah ke sini.” cibirnya.

“Heh? Maksud lo?” pekik Jiya bingung.

“Elu ngapain masih pakaian kayak gini dan pakai acara keluyuran segala, kan udah mau lamaran?” tanya Lukman.

Jiya mengernyitkan keningnya bingung, “Apa hubungannya gue yang pakai pakaian kayak gini, keluyuran, dengan lamaran kakak gue?” balasnya.

“Ya karena ini kan lamarannya kakak- HAH?” pekik Lukman yang terkaget di tengah kalimat. “KAKAK LO? KAKAK LO YANG LAMARAN?”

“Lah, iya kan? Emang siapa lagi?”

“Elo..?”

“Woe, jing. Ngapain gue mikirin nikah. Mending gue kerja, cari duit, biar bisa modif motor.” tukas Jiya.

Jujur, Lukman rasanya lega sekali mendengar itu dan senangnya bukan kepalang. Ia terus mengelus-elus dadanya sambil tersenyum lebar. Ya walau si cewek tomboy itu bingung cowok yang ada di hadapannya itu kenapa.