Lamaran

Akhirnya setelah beberapa jam di perjalanan menggunakan angkutan kota yang di-charter, keempat sahabat dan sang Bapak Kos kini telah sampai di tujuan.

Kelima pria itu turun dari kendaraan tersebut, Hendy turun yang paling duluan dan berjalan mendekati sebuah pohon lalu mengomel terhadap tumbuhan itu.

“Demi apapun, perjalanan hampir 3 jam, pakenya pete-pete* yang panas sekali.” dengusnya.

*Pete-pete : sebutan angkot/mikrolet di Makassar, Sulawesi Selatan.

Junedi yang menghampirinya dengan heran berkata, “Ngapain sih lo?” tanyanya sambil menepuk pundak Hendy.

Hendy hanya mendengus kesal dan tak menjawab.

Di sisi lain, pak Kadir sudah mulai berjalan sembari diikuti oleh Maraka dan Lukman di belakangnya.

“Udah ah, entar kita ketinggalan, nyasar lagi.” ucap Junedi kepada Hendy, yang bermaksud untuk mempercepat langkah kaki Hendy menuju ke letak tempat acara yang persis.

“Sadar gak sih lu, si Lukman hari ini kayak lemes banget?” tanya Maraka saat ia sadar bahwa Hendy dan Junedi sedang berjalan berdampingan dengannya, namun sementara Lukman berjalan di depan lebih dulu bersama dengan pak Kadir.

“Ya wajar aja sih. Siapa coba yang gak galau datang ke lamaran mantan, itu pun bukan sebagai tamu. Tapi jadi babu.” tukas Hendy.

“Cangkemmu.” tegur Junedi sambil memukul pelan mulut Hendy.

“WOI, BANGSAT!”

“Heh, tapi kan bukan Jiya yang mau lamaran..” bisik Maraka, mengingatkan kedua pemuda dengan ingatan Dori itu. Sebagai reaksi, mulur Hendy dan Junedi terbuka dengan lebar karena mereka nyaris melupakan fakta tersebut.

“Ya setidaknya dia jadi dandan sih, demi ketemu mantan setelah berapa lama.” ucap Junedi.

Keempat pemuda F4 SM House ini sibuk melakukan pekerjaan fisik dalam persiapan acara ini, sampai-sampai mereka bahkan tidak sempat bertemu dengan pihak keluarga yang mau dilamar. Namun akhirnya mereka mendapatkan waktu istirahat yang membuat keempat dari mereka duduk di kursi-kursi yang mereka tata di bawah tenda.

“Keluarga cowoknya belum datang kan, ya?” ucap Lukman.

Ketiga orang di hadapan dan samping Lukman hanya diam sambil sedikit menahan tawa mereka. “Belum, Man. Paling agak pas sebelum Dzuhur.” balas Maraka.

“Kita sapa keluarga ceweknya dulu aja. Dari tadi gak ketemu-ketemu, kita belum kasih selamat.” usul Junedi, yang mengundang rasa setuju bagi yang lain, kecuali Lukman.

“Kalian aja deh, gue di sini aja. Capek gerak.” katanya.

Junedi mengedikkan kedua bahunya, lalu ia bersama Maraka dan Hendy pun masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Lukman tetap terduduk pada kursi di bawah tenda itu.

Tak jauh dari pandangannya, ia melihat sosok berambut pendek dengan celana ripped jeans yang keluar dari dalam rumah ke arah tenda. Ia tahu persis siapa orang itu. Namun, ekspresi Lukman menjadi bingung mengapa Jiya belum berpakaian layaknya orang yang dilamar? Tapi itu bukan urusannya, dia bukan siapa-siapa selain penghuni kos dari om cewek yang mau dilamar.

“Lukman?”

Mendengar suara itu, sang empunya lantas merinding. Entah karena suara berat yang terdengar menyeramkan, atau karena itu suara mantan.

“Lo ngapain di sini sendirian? Yang lain pada masuk tuh.” ucap Jiya.

Lukman memutar bola matanya, “Padahal mereka mau selametin yang mau lamaran, eh tapi orangnya malah ke sini.” cibirnya.

“Heh? Maksud lo?” pekik Jiya bingung.

“Elu ngapain masih pakaian kayak gini dan pakai acara keluyuran segala, kan udah mau lamaran?” tanya Lukman.

Jiya mengernyitkan keningnya bingung, “Apa hubungannya gue yang pakai pakaian kayak gini, keluyuran, dengan lamaran kakak gue?” balasnya.

“Ya karena ini kan lamarannya kakak- HAH?” pekik Lukman yang terkaget di tengah kalimat. “KAKAK LO? KAKAK LO YANG LAMARAN?”

“Lah, iya kan? Emang siapa lagi?”

“Elo..?”

“Woe, jing. Ngapain gue mikirin nikah. Mending gue kerja, cari duit, biar bisa modif motor.” tukas Jiya.

Jujur, Lukman rasanya lega sekali mendengar itu dan senangnya bukan kepalang. Ia terus mengelus-elus dadanya sambil tersenyum lebar. Ya walau si cewek tomboy itu bingung cowok yang ada di hadapannya itu kenapa.