menjenguk
Alesya mendengar suara bel yang berdering sampai ke dalam kamarnya. Awalnya ia tidak ingin menghiraukan suara bel itu karena berpikir itu hanya ulah anak-anak kecil yang nakal.
TING TONG!
TING TONG!
Argh, bener-bener dah.. gak tau orang lagi sakit juga..
Tampaknya itu bukan sekedar ulah bocah nakal, mengingat kompleks yang ditinggali Alesya cukup elite. Terlebih lagi bel itu terus berbunyi yang berarti benar-benar ada orang yang hendak bertamu.
Alesya menjadi kesal karena waktu istirahatnya diganggu tetapi ia tetap memutuskan untuk membuka pintu. Ia membalutkan selimut di sekujur tubuhnya dan mulai keluar dari kamarnya, menuruni tangga ke lantai 1 di mana pintu utama berada.
Sesampainya di depan pintu, ia mengintip dari jendela sebelum membuka pintu. Eh? Ngapain dia disini?!
Alesya segera membuka pintu, “Ngapain lo di sini?” sambutnya dengan ketus.
Ezra menatap penampilan Alesya yang terlihat pucat dan acak-acakan, dibalut dengan selimut. Ia menjadi khawatir. “Maaf nih, gara-gara gue lo jadi harus jauh-jauh buka pintu. Tapi gue dengar lo sakit, jadi gue kesini.” ucapnya.
Alesya tak mengindahkan ucapan Ezra, ia hanya memegang keningnya sambil bernapas dengan berat. “Ya udah, lo pulang gih.”
“Enggak, gue mau nemenin lo.” ujar Ezra. “Ingat kan, gue anak dokter?”
“Gue lagi gak mau dokter-dokteran sama lo, ya.” lirih Alesya.
Ezra berdecak kesal, ia melihat temannya itu mulai sempoyongan karena terlalu lama berdiri. Sebelum Alesya kehilangan keseimbangannya, Ezra dengan sergap menangkap gadis itu.
“Ck, udah. Gue bakal temenin lo.” tegas Ezra, sambil membawa masuk Alesya ke dalam rumah dan membantunya berbaring di sofa.
Setelah itu, ia berjalan kembali ke pintu utama untuk mengambil panci isi supnya yang ia taruh di lantai teras tadi dan membawanya ke dalam rumah.
“Itu apaan, anjir..” lirih Alesya yang melihat Ezra membawa sebuah panci dengan hati-hati.
“Pelet. Dengan ini, lo pasti bakal naksir sama gue.” balas Ezra.
Alesya menyengir dengan lemah, “Si anjir, gue lagi gak mood dengan kegaringan lo.”
Ezra menaruh panci itu di atas kompor. “Gue izin nyalain kompor lo, ya. Sekalian pakai alat makan lo.”
“Iya, dah.”
Ezra pun memanaskan panci sup itu dan menyiapkan mangkuk serta sendok bersih, lalu menuangkan sup hangat ke dalamnya. Mangkuk berisi sup itu lalu ia bawakan pada Alesya yang berbaring di sofa.
“Lo pasti belum makan, kan? Makan dulu ini yang anget-anget.” ucapnya sembari memegang mangkuk hangat.
Alesya membalikkan badannya, “Gak, ah.”
Ezra menepuk pundak Alesya. “Duduk dulu bentar.”
Karena sudah capek diajak bicara terus, Alesya hanya bisa menuruti Ezra. Ia pun berpindah posisi dari berbaring menjadi duduk di atas sofa. Ezra duduk di sampingnya lalu menyodorkan mangkuk tersebut.
Alesya berdecak kesal, “Ck. Gak mau. Gue pusing.”
“Gue suapin nih?”
“Anjir, geli.”
“Ya udah, makan dulu ini.”
“Dibilang juga gue lagi pusing.”
Ezra pun menyedok sup tersebut dari mangkuk, dan menyodorkannya ke mulut Alesya. “Aaa..”
Alesya menatapnya dengan tajam, lalu membuka mulutnya, “Aaa..”
Ezra menyuapkan sup itu pada Alesya. “Gimana?”
“Hm, enak. Ini lo beli supnya dimana?”
“Enak, kan? Nih. Lo habisin sendiri.” ucap Ezra lalu menyodorkan mangkuk itu kepada Alesya.
Gadis itupun mengambil mangkuk tersebut dan lanjut menikmati sup ayam tersebut. “Serius, enak. Lo beli dimana?” ucapnya di sela-sela mengunyah daging ayam.
Ezra tersenyum, “Baguslah kalau ternyata lo masih ada nafsu makan.”
“Si goblok, gue tanyain lo beli dimana dari tadi.”
“Seperti yang gue bilang, pelet. Alias gue bikin sendiri, resep almarhumah nenek.”
“Masa? Enak banget, serius.”
Ezra ikut tersenyum ketika melihat Alesya yang juga tersenyum karena kehangatan dari sup ayam spesial itu. Momen seperti ini telah ditunggu-tunggu olehnya, momen dimana keduanya tidak saling bersaing, melainkan sama-sama merasakan kehangatan.
© hazelnutbbutter