hazelnutbbutter

Karena Tian tidak bisa ikut sebab harus menjadi ayah yang baik, Empat Wijaya menjemput kedua orangtua mereka di bandara setelah keduanya berlibur selama hampir dua bulan di Eropa dengan alasan awalnya, ‘untuk mengantar Opa balik ke Belanda’. Tapi tampaknya mereka sangat menikmati waktu mereka disana yang digunakan untuk beristirahat.

Sekarang mereka sudah pulang ke tanah air untuk kembali menjalankan aktivitas mereka seperti biasanya.

Sesampainya di Indonesia, mereka disambut oleh banyak sekali reporter yang menunggu di pintu kedatangan, entah darimana mereka mendapatkan kabar kepulangan kedua aktor-aktris senior itu.

Keempat Wijaya itu jadi kebingungan bagaimana mereka harus menyelematkan orangtua mereka dari lautan wartawan tanpa adanya kehadiran manajer.

“Sean, Shia, alihkan perhatian mereka. Mas sama Joan yang jemput Mama Papa.” ujar Dean.

“Aye, aye, captain!”

Keempat dari mereka mulai mengambil posisi untuk menjalankan misi ‘Menyelamatkan Papa Mama dari Lautan Reporter’. Si kembar pun yang pertama memulai aksi mereka.

“Eh! Tau gak, minggu depan aku mau ada upload video collab sama orang yang SUPER UNEXPECTED lho!” seru Shia. “Pevita Pearce!”

Lantas semua reporter langsung mengalihkan pandangan mereka dari pasangan suami istri itu ke anak perempuan satu-satunya mereka.

“Itu Shia! Anak ceweknya Hasan Wijaya!”

“Yang kemarin collab sama Herjunot Ali itu?!”

“Iya!”

“Itu kembarannya, si Sean pernah pacaran sama Zara, kan?!”

“Eh, kata siapa?” pekik Sean. “Hoax.”

Setelah perhatian para reporter itu berhasil teralihkan, maka si sulung dan si bungsu pun berhasil menyelamatkan orangtua mereka.

***

Akhirnya, keempat dari mereka pun sampai juga di rumah tercinta. Sudah ada Tian, Naya, dan Aidan yang menunggu di ruang tamu.

“Aidan!!” seru Mama yang berlari kecil menyapa cucu pertamanya itu yang lalu ia gendong.

“Nyamma! Nyamma!” ujar Aidan.

“Iya! Ini Gramma!” senyum Mama. “Itu Grampa!”

“Nyappa!”

Seusai sesi temu kangen, Mama Papa pun pergi ke kamarnya untuk bersih-bersih dan istirahat sedikit. Meninggalkan para Wijaya bersaudara plus Naya dan Aidan di ruang keluarga.

“Nay, subscribers gue pengen liat lo lagi katanya. Kalau gini mending gue open corner Shia Naya aja kali, ya?” ucap Shia.

“Boleh aja gue mah,” jawab Naya.

Saat Shia dan Naya sibuk mengobrol, Tian, Sean, dan Joan asik memperhatikan Dean yang sedang bermain dengan Aidan dengan bahagia.

“Asli, masku ini bapak-able tapi kagak nongol-nongol jodohnya.” ujar Tian.

“Mas mau gue cariin cewek kah?” tanya Joan.

“Apa sih.” tukas Dean. “Kagak.”

“Lo masih gamon sama Sonya kah, bang?” tanya Sean. “Dianya juga udah nikah jir, move on!”

“Kagak woi.” balas Dean. “Gue nyaman-nyaman aja ngejomblo gini.”

“Ah, gak bisa gini.” kata Joan. “Biar gue aja yang urus!”

©️ hazelnutbbutter

Empat Wijaya menjemput kedua orangtua mereka di bandara setelah keduanya berlibur selama hampir dua bulan di Eropa dengan alasan awalnya, ‘untuk mengantar Opa balik ke Belanda’. Tapi tampaknya mereka sangat menikmati waktu mereka disana yang digunakan untuk beristirahat.

Joan melempar ponselnya ke kasur setelah membalas pesan di group chat bersaudaranya. Ia mengacak-acak rambutnya lalu menggeram, “Aargh! Gue kenapa, sih?!”

Ia menidurkan kepalanya di meja kerjanya, berusaha untuk mengosongkan pikirannya sembari sedikit berpikir rasional.

Tidak sampai satu menit ia beristirahat, pintu kamarnya digedor-gedor hebat.

DUNG! DUNG! DUNG!

Joan tahu persis siapa itu, pasti kakak ketiganya, Sean yang tidak pernah sadar akan kekuatan fisiknya.

“WOEEE! ADEK! BUKA GAK LO?!” suara teriakan Sean dapat terdengar jelas dari dalam kamar Joan.

Joan hanya berdecak kesal lalu ia berbaring di tempat tidurnya sambil menutup kedua kupingnya.

Sementara itu, di luar kamar Joan, Sean masih sibuk menggedor-gedor pintu kamar adiknya.

“Lo kalau ada masalah sama gue bilang dong! Kan biasanya juga gitu! Ngapa jadi ngambek gak jelas?!” seru Sean. “Kalau lo gak buka-buka pintu, gue dobrak nih!”

BRUK! BRUK! BRUK! BRUK! BRUK

“JOAN!” seru Sean.

Tak lama, muncullah Dean dan Shia dari kamarnya karena mendengar suara bising.

“Eh! Lo ngapain sih gedor-gedor pintunya adek?!” seru Shia yang menarik kasar tangan Sean dari daun pintu kamar Joan.

“Itu dianya yang tiba-tiba ngambek gak jelas orang tadi malem baik-baik aja?!” protes Sean. “Kayak cewek PMS tau gak?!”

“Kayak tau cewek PMS gimana aja..” sindir Shia.

Sean mengernyit lalu mengunjuk tangan kanannya ke arah Shia, “Uhm, hello?

“Gue kagak brutal ya, anjir!” seru Shia sambil menepis tangan kembarannya itu.

Dean hanya bisa mencubit dahinya karena sudah cukup ia melihat adik-adiknya berantem seumur hidupnya.

“UDAH! Capek dah gue liat kalian semua berantem mulu dari dulu. Lo semua udah bukan anak kecil lagi, tau gak!” kesal Dean.

Sean dan Shia spontan kaget melihat Dean yang mereaksi seperti itu. Sebab sang kakak sulung itu jarang sekali memperlihatkan ekspresi marahnya.

“Sean, lo kembali ke kamar lo. Biarin adek sendiri dulu. Pasti ada alasan kenapa dia marah sama lo tapi gak bisa bilang.” ucap Dean.

“I-iya…” jawab Sean yang kemudian meninggalkan tempat.

“Shia, lo coba sekarang telepon Tian. Kayaknya dia tahu deh adek kenapa.” kata Dean.

Shia mengangguk, “Oke, wait.” ucapnya lalu segera mencari nomor kakak keduanya di daftar kontaknya pada ponsel yang ia pegang dari tadi.

“Nih, lagi ringing.” ucap Shia.

“Oke.” balas Dean. “Haduh.. untung aja lagi gak ada orang di rumah.. bisa-bisa mereka berdua diceramahin brutal sama Papa..”

“Bakal lebih parah lagi kalau diliat sama Opa, mas.” tambah Shia.

“Halo?” terdengarlah suara Tian dari seberang telepon.

“Mas Tian!” pekik Shia.

“Kenape?” tanya Tian.

“Adek sama Sean berantem!” ujar Shia.

“Emang sering berantem kan mereka..” balas Tian.

“Beda, mas! Yang ini serius!”

“Berantem gimana?!” pekik Tian.

Dean mengisyaratkan Shia untuk memberikan ponsel itu kepadanya, kemudian Shia berikan ponselnya kepada sang kakak.

“Tian? Ini gue.” ujar Dean.

“Oh iya, men.” balas Tian. “Maksudnya mereka berantem, gimana?”

“Itu… kayaknya setelah chatan di grup, si Seannya bingung karena adeknya gak ada angin, gak ada hujan, ngambek… jadi dia gedor-gedor kamar adek tapi karena adek gak mau buka, dia ngancem mau dobrak pintunya.. si Sean ya jadi kesal karena tiba-tiba dimusuhin. Padahal si adek kan lu tau sendiri kalau ada masalah langsung bilang, nah ini kagak.” balas Dean. “Untungnya Mama Papa lagi ada schedule terus Opa juga lagi keluar sama asistennya.”

“Anjir…” balas Tian.

“Kita nelpon lo bukan buat life update dan minta reaksi ya.” ketus Dean. “Lo tau gak kenapa si adek ngambek? Mumpung ini gue sama Shia masih di depan kamarnya, mau ngajak ngomong bentar.”

“Kenapa nanya gue? Orang gue udah gak tinggal bareng lu pada.” jawab Tian.

“Habisnya lo di group chat juga kayaknya biasanya, malah menikmati pertengkaran mereka. Terus gue liat di Twitter balasan-balasan lo seakan tahu sesuatu.” tambah Dean.

“Ternyata ada gunanya juga gue di keluarga ini, gak cuma menjadi pembawa cucu pertama aja.” ujar Tian.

“KASIH TAHU GAK MAS?! Atau nanti acara syukuran lo nanti siang diisi oleh cekcoknya Sean sama adek!” geram Shia.

“Anying, jelek amat ancamannya!” protrs Tian. *“Gue sendiri juga gak tahu pasti ya penyebabnya, cuma… tadi pagi si adek minta izin mau bawa Pinky ke acara bentar, gue ya bolehin aja, kenapa engga? Toh Pinky juga udah sering ke acara keluarga kita. Terus ya kayak setengah jam kemudian gue liat tweetnya adek yang bilang ‘yang ngajak siapa, yang mau ditemuin siapa’. Dari situ gue konekin aja ‘Oh iya, kan si Pinky naksir Sean ya’. Jadi ya gue ledekin aja dari situ. Gue pikir ya gak bakal gimana-gimana even pas chat pertama di grup tadi. Tapi pas di akhir kok malah jadi begindang….. ditambah sama yang tadi kelen kabarin.”*

Dean dan Shia saling menatap, “Berarti…. itu adek…?”

“Dia jealous sama Sean kali.” ujar Tian. “Kayaknya ini pertama kali juga dia suka cewek, yang for real.”

Shia menepuk jidatnya. “Ini adek bontot kita kenapa pubernya telat amat, dah…. umur 23 baru cinta-cintaan..”

Dean menambah, “Selama ini adek sama Pinky kan bro banget, apa ini baru pertama kali dia ada rasa?”

“Itu dia gak tahu rasa suka cewek tuh gimana. Kan dia kayak elu bang, dari kecil belajar mulu. Dasar anak sulung sama bontot IQ tinggi.” timpa Tian. “Lo dulu pas pertama kali suka sama cewek juga bentukannya aneh.”

“Berarti mas Dean aja yang ngomong sama adek.” ujar Shia.

Dean hanya mengangguk sambil menatap pintu kamar Joan. Ia kemudian mengetuk pintu itu perlahan.

Tok tok tok!

“Dek.. ini Mas Dean..” ujar Dean. “Si Sean udah gak ada, cuma ada Shia.”

Tak lama, Joan membukakan pintu kepada dua kakaknya itu. Walau Dean dan Shia sudah dipersilakan masuk, Joan tak bergeming dan kembali berbaring di tempat tidurnya sambil berselimut.

Shia mendekati tempat tidur Joan dan berjongkok di dekat pinggiran ranjang untuk menemui mata sang adik.

“Adek kenapa lemes banget hari ini?” tanya Shia lembut.

Joan hanya menggeleng.

“Gue bawain tensi, ya.” tukas Dean yang mengundang tatapan tajam Shia.

“Mas Dean apaan sih.” ujar Shia. “Jangan tukeran personality sama Mas Tian, deh.”

You know what? That’s a good idea.” tukas Joan.

Dean pun keluar dari kamar Joan lalu kembali dengan alat ukur tensi yang ia ambil dari kamarnya. Ia kemudian mengukur tensi adiknya.

“Normal, kok.”

That’s weird. Padahal dari tadi gue merasa kalau kayaknya blood pressure gue naik.” kata Joan. “Terus dada gue juga rasanya sakit.”

“Sakit gimana? Kayak ketusuk gitu?” tanya Shia.

Joan menggeleng, “Kayak kalau kena radiasi.”

“Gimana ceritanye…” batin Shia.

“Sesak?” tanya Dean.

“Mirip. Tapi gak juga.” balas Joan.

©️ hazelnutbbutter

Setelah mendapatkan 'panggilan' dari sang kakek, Joan memilih untuk menuruti permintaan Opanya dan berjalan menuju ke taman belakang rumahnya untuk menemui Opa setelah berpikir panjang dengan bantuan sahabat dan kakak-kakaknya.

Di bawah sinar rembulan, ia melihat siluet pria baya yang duduk di kursi taman sambil menyeruput minuman dari gelas keramiknya. Mungkin itu teh atau wedang jahe.

Joan duduk pada kursi yang ada di hadapan Opa, namun ia memalingkan wajahnya dari si kakek. Keduanya hanya diam dengan canggung selama 2 menit.

“Ehem.” Opa hanya berdehem lalu kembali menyeruput wedang jahe hangatnya. “Kamu suka jadi mechanical engineer?”

Joan mulai tertarik dengan pertanyaan yang dilontarkan Opa. Ia mengangguk, “Iya.”

“Kenapa dulu tidak mau masuk kedokteran?” tanya Opa.

Joan menghela napasnya, “Not this again..” batinnya. Namun mengingat perilaku tidak sopannya tadi malam, Joan memilih untuk menjawab saja dengan serius.

With all respect, Opa. Joan sendiri emang gak pernah berminat di medical field. Dan tentunya ya gak pernah sama sekali aku bercita-cita jadi dokter. Joan suka hal yang practical and innovative, dan punya passion di mechanical engineering.” jawab Joan.

“Dokter juga bisa practical and innovative,” balas Opa.

Joan jujur sudah cukup muak walau hanya baru sekitar 3 menit ia membuka obrolan dengan sang kakek. “Opa kenapa obsessed banget buat cucu-cucunya jadi dokter, sih? Padahal profesi lain juga bagus.”

“Opa cuma menyayangkan saja kepintaran kamu dan abang sulung kamu.” jawab Opa. “Dari ayahmu kecil, sampai ke kamu sendiri, tidak ada yang mau jadi dokter. Bahkan mau mendaftar masuk kedokteran saja tidak mau.”

“Kenapa harus sengebet itu sih, Opa?” tanya Joan lagi.

“Kakek buyut kamu, ayah Opa, itu dulunya dokter pas masih zaman Belanda. Karena melihat ayah, Opa juga ingin jadi dokter namun selalu gagal jadinya masuk ke hukum.” jawab Opa. “Opa janji ke diri Opa sendiri kalau anak Opa harus ada yang jadi dokter. Tapi tidak ada yang mau, mana ayah kamu anak tunggal pula. Opa jadinya hanya punya kalian sebagai cucu sebagai opsi terakhir. Waktu Dean bersikeras menolak, Opa sangat sedih padahal dia dikarunai dengan kecerdasan di atas rata-rata. Kakak-kakak kamu yang lain pun juga kurang mampu. Jadi harapan terakhir Opa cuma di kamu, sebelum Opa meninggal.” jelas Opa pelan. “Opa mau lihat langsung keturunan Opa jadi dokter.”

Joan terdiam sejenak, “Opa, maaf Joan lancang, tapi anak dan cucu Opa itu punya kehidupan dan gairahnya sendiri, jadi kurang pantas jika Opa memaksakan keturunan Opa untuk meraih mimpi Opa yang gagal.”

Opa mengangguk pelan, “Opa tahu, ini semua hanya untuk kepuasan ego Opa sendiri.” ucapnya sambil menghela napas lalu menyeruput kecil teh hangatnya. “Maaf kalau sudah menyakiti perasaan kamu dan kakak-kakakmu selama ini. Opa memang sudah terlalu keras..”

Joan tersenyum, “Opa makanya sehat-sehat! Hidup yang lama siapa tahu ada cicitnya yang masuk kedokteran? Anaknya Bang Tian kan bentar lagi lahir, misal dia ternyata masuk kedokteran dan Opa bisa hidup sampai 100 tahun, pasti dia sudah jadi dokter kan?”

Opa tersenyum simpul, “Benar juga, hahaha.”

“Misal lho ya, Opa, misal.”

“Iya..” balas Opa. “Eh, mumpung ngomongin Tian, due date istrinya kapan?”

Ting! Ting! Ting!

“Eh, maaf Opa. Joan cek HP dulu.” ucap Joan lalu merogoh saku dan mengambil ponselnya. Matanya terbelalak setelah melihat notifikasi di lockscreennya.

“Kenapa?” tanya Opa.

“Ah, enggak..” balas Joan.

©️ hazelnutbbutter

Acara yang paling tidak penting dan memalaskan namun orang kaya sering lakukan adalah makan malam. Memangnya apa sih yang spesial dari makan malam sehingga menjadi simbol kemewahan? Kan cuma makan di malam hari saja, apapun makanannya.

Sejujurnya Keluarga Wijaya juga tidak sekaya konglomerat tujuh turunan atau apa, tetapi mengapa harus ada makan malam spesial?

Mas Dean sudah terlebih dahulu berangkat dengan Mama, Papa, Opa, dan Mas Niki. Jadi di sisanya harus menyusul. Untuk Tian, dia berhasil untuk menghindar dari makan malam ini dengan alasan ada sesi birthing class untuk Naya. Entah kenapa dipercaya saja oleh Papa, padahal Naya sudah menamatkan semua sesi kelas hamil sampai persiapan melahirkan. Tetapi akan dimaklumi saja oleh adik-adiknya karena kakak iparnya sendiri akan segera melahirkan dalam waktu yang sangat dekat, mungkin hanya tinggal hitungan jam lagi.

“Kak, kita kabur aja deh.” usul Joan pada Shia yang sedang memasang anting di telinga kirinya.

“Setuju. Soalnya dari tadi Opa belum ngomong apa-apa sama kita. He'll definitely drop the bomb tonight.” timpa Sean.

“Betul, betul!”

“Semalas-malasnya gue ikut ini dinner, gue gak mau kabur, ya.” kata Shia lalu memakai sepatu. “Sean, lo yang nyetir ya. Rabun senja gue kambuh lagi.”

“Sial, dasar emak-emak.” cibir Sean. “Bilang aja lo mau caper sok cantik sama asistennya Opa.”

Shia tersenyum pahit, “First of all, gue cantiknya beneran. Kedua, no.” balasnya. “Udah lah, adek aja yang nyetir. Ogah gue duduk di depan sama elo.”

“Ish, dasar kakak-kakak kembar.” cibir Joan sambil menerima kunci mobil Shia.


Sesampainya mereka di restoran tujuan, ketiga kakak-beradik itu duduk di kursi kosong yang tersedia. Sean dan Joan bekerjasama untuk membuat Shia duduk di sebelah Mas Niki.

“What the hell?!” bisik Shia kepada keduanya.

“Biar ada buahnya sedikit hasil lo dandan.” balas Sean yang ditambah oleh cekikikan Joan.

“Lho, Tian tidak ikut?” tanya Opa.

“Naya baru kontrak- AAAARGH!”

Omongan Sean langsung dipotong oleh Shia yang menginjak kaki kembarannya dengan kencang.

“Baru.. k-kontakan sama tutornya, Naya ada birthing class, Opa. Sudah dekat due date. Harus Mas Tian temani.” potong Shia.

“Sean kenapa teriak?” tanya Opa.

“Gak papa, Opa. Hnng.. tadi ada semut ngegigit..” balas Sean sambil melirih.

“Laki-laki dewasa digigit semut doang kok teriak.” cibir Opa.

“Semutnya ganas, Opa. Semut rabun senja.” timpa Sean.

“Hmm?” gumam Opa. “Joan, kamu kerja apa sekarang? Pasti bukan model tidak jelas seperti abangmu itu kan?”

Sean yang mendengar dirinya disebut itu hanya bisa tersenyum. Joan sendiri menganga karena ternyata the bomb is literally dropping right now. Bahkan belum ada lima menit dari kedatangan mereka di sini.

“Joan sekarang mechanical engineer di Neo Culture Technology, Opa.” balas Joan.

“Adek satu-satunya lho yang diterima perusahaan konglomerat di jurusannya tepat setelah lulus.” timpa Dean. “Lulusnya juga summa cum laude, kayak Dean dulu.”

“Lho, gak jadi pindah jurusan?” tanya Opa.

Joan mengernyit karena bingung dan juga kesal karena ia tahu persis kemana arah obrolan ini. “Pindah jurusan?”

“Kalau mau sukses, rintis karir dengan profesi yang jelas, seperti dokter. Kamu yang paling pintar kedua kan setelah Dean? Seharusnya kalau Mas Deanmu tidak mau jadi dokter, kamu saja yang jadi dokter. Karena kakak-kakakmu yang lain tidak mampu.” ucap Opa sambil melambaikan garpunya pada Joan.

Setelah Opa melontarkan perkataan tersebut, suasana ruangan menjadi hening. Raut wajah Mama dan Papa menjadi tidak nyaman, dan wajah para cucu juga berubah menjadi masam, bahkan termasuk Dean dan Shia yang menyenangi Opa.

“Pa, sudah. Anak-anak jadi gak nyaman mau makan..” ucap Papa kepada Opa.

“Kalau profesi dokter sebagus itu buat Opa, kenapa gak Opa saja yang jadi dokter?!” seru Joan lalu keluar dari ruangan.

“Adek! Adek! Joan!” seru Mama dan Papa.

“Aku susul adek dulu,” ucap Dean lalu pergi menyusul si bontot.

“Sean juga.”

“Shia juga.”

Akhirnya, keempat anak itu semua pergi meninggalkan ruang makan demi menyusul adik kecilnya.

“Duh, Papa.. Hasan sudah bilang jangan terlalu keras sama anak-anak.. mereka punya perasaan lho..” ujar Papa kepada Opa.

“Iya, Pa.. anak-anak juga senang kok dengan pekerjaan mereka saat ini. Itu semua mereka sendiri yang pilih jalan hidup mereka, dan mereka juga tahu resikonya.” tambah Mama pada ayah mertuanya.

Opa hanya bisa menghela napas lalu mengarahkan tangannya kepada Mas Niki, “Susul mereka juga.” katanya pada sang asisten.

“Iya, Pak.”


Keempat saudara itu duduk bersama di bangku taman restoran yang mereka tempati di bawah sinar rembulan. Si bungsu dari tadi hanya bisa menghela napasnya berat.

“Sejujurnya gue selama kuliah gak pernah ngalamin yang namanya perasaan 'salah jurusan' kayak kebanyakan mahasiswa. Tapi kalau sama Opa, perasaan itu selalu ada.” ucap Joan sedih. “Rasanya gue menyalahgunakan 'kepintaran' gue gitu lho.”

“Hey, gak semua orang bisa masuk dan survive di Teknik. Apalagi Teknik Mesin, lulus tepat waktu, dan bahkan summa cum laude? Belum lagi kamu langsung diterima kerja di perusahaan besar lagi. Cuma kamu yang bisa, dek.” kata Shia.

“Jujur, terkadang gue iri sama lo, dek.” ujar Sean.

“Masa?” tanya Joan.

Sean mengangguk. “Kata Opa benar. Lo ngikut pintarnya Mas Dean. Gak kayak kita sama Bang Tian yang selalu kesulitan semasa sekolah, bahkan gue sampai kuliah.” ucapnya. “Lo mungkin gak tau, tapi gue dulu pengen masuk Teknik Mesin juga, cuma karena nilai IPA gue gak memungkinkan, jadi linjur.”

“Kita sebenarnya selalu iri sama kepintaran Adek sama Mas Dean. Cuma ya, mungkin gak terlalu keliatan karena Mama dan Papa sendiri gak pernah perlakuin kita berlima beda, kan?” tambah Shia. “Intinya, mau sepintar apapun adek, gak ada jawaban yang benar kok buat pilihan karir. Kan semua balik lagi ke minat dan bakat.”

Joan tersenyum setelah mendengar pep talk dari kakak-kakak kembarnya. Sedangkan si sulung dari tadi hanya diam, fokus mendengarkan.

“Mas Dean gak mau ngomong juga?” tanya Joan.

“Mas bingung, karena rasanya semua ini terjadi karena Mas. Ternyata semua ini gak sekedar bisa dibicarakan yang seperti kita kira. Harusnya gue dulu ikutin kata Opa aja ambil kedokteran biar kalian gak sengsara begini harus menuruti harapan Opa satu per satu.” ujar Dean.

“Ini bukan salah Mas Dean, kok.” ucap Joan.

By the way, kenapa ya setiap kita deep talk atau ngomongin hal yang serius, Mas Tian selalu absen?” cetus Shia.

“Hahaha, iya. Jadi beneran berasa anak pungut dia.” tawa Joan.

© hazelnutbbutter

Hari Sabtu.

Hari Sabtu ini akan menjadi salah satu hari ter-hectic bagi Keluarga Wijaya. Terutama Tian, Sean, dan Joan. Siang ini, mereka akan kedatangan Opa mereka dari Belanda.

Anak-anak Wijaya memiliki dua Opa, satu dari Mama, satu dari Papa. Namun yang akan datang berkunjung adalah Opa Wijaya, alias dari pihak Papa.

Budiman Wijaya, ayah dari Papanya anak-anak adalah pensiunan Jaksa yang memilih untuk menghabiskan masa tuanya di negeri orang, yaitu Belanda bersama sang istri yang biasa anak-anak panggil 'Nana'.

Namun sayangnya, Nana sudah pergi satu tahun yang lalu, meninggalkan Opa sendirian. Well, not literally. Karena ada seorang asisten yang tinggal bersama mereka sejak lama.

“Kak, apa aku pura-pura sakit aja ya biar gak usah ikut jemput Opa?” tanya Joan kepada Shia di mobil saat mereka dalam perjalanan pulang dari rumah Tian ke rumah orangtuanya.

“Udah lah, dek. Namanya juga orang tua, kalau ngomong bisa pedes. Maklumin aja,” balas Shia kepada adiknya.

Setibanya di rumah, merekapun pergi menuju ke kamar masing-masing untuk melanjutkan aktivitas yang seharusnya mereka lakukan. Misalnya Shia yang memutuskan untuk berolahraga dulu di gym-nya Sean sebelum mandi, dan Joan yang langsung pergi ke kamarnya untuk membuka laptop karena ingin mengecek email dari kantor.


Sudah jam 1 siang, Keluarga Wijaya lengkap dengan Naya berkumpul di ruang tamu untuk berangkat bersama ke bandara. Sesuai dengan rencana awal, Mama dan Papa di Toyota Alphard hitam mereka yang akan dibawa oleh Pak Setyo dan nantinya Opa dan asistennya akan ikut di dalam mobil tersebut. Lalu Dean, Sean, Shia, dan Joan akan berada di BMW X5 biru Dean yang akan ia setiri sendiri. Terakhir, Tian dan Naya berada di Lexus LX 600 VIP, mobil mereka sendiri, in case of pregnancy-medical emergency.

Ketiga mobil itupun mulai meninggalkan pinggir jalan kediaman Wijaya satu per satu, dipimpin oleh mobil Alphard.

Di mobil 2, Dean menyetir, Shia duduk di kursi penumpang depan, sementara Sean dan Joan duduk bersama di belakang.

“Udah siap mental gak bang, ketemu Opa?” tanya Joan.

“Kagak. Pencapaian gue selama ini kagak ada yang 'Opa-worthy'.” balas Sean.

“Gue mulai kerja jadi mechanical engineer aja pasti belum tentu bikin Opa senang. Entar diungkit-ungkit soal kedokteran lagi. Hadeh.” ucap Joan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Shia yang duduk di depan pun menengok ke belakang, “Sumpah, gue gak ngerti kenapa lu bertiga se gak sreg itu sama Opa. Gue sama Mas Dean suka lho sama Opa. Ya gak, Mas?” tanya Shia pada Dean yang sedang menyetir.

“Iya,” balas Dean.

“Plis deh. Mas Dean itu dari kecil kan jenius, aksel 3 kali dan sekarang pekerja kantoran yang jabatannya udah tinggi, kerjaan stabil, gaji bagus.” ucap Joan.

“Kalau si Shia sih jujur gue gak ngerti juga. Orang kerjaannya kurang lebih mirip sama kerjaan gue kok. Paling free pass karena satu-satunya cucu cewek.” timpa Sean.

“Heh, enak aje. Waktu lulus kuliah gue magna cum laude, tau. Elo mah cum laude doang.” cibir Shia.

“Mas Dean yang summa cum laude aja diam, kok.” tukas Joan.

“Oke ya, adek-adek sekalian. Gak tahu ya kalau Shia gimana, tapi Mas dulu juga kena pressure sama Opa kok. 'Kenapa gak masuk kedokteran atau hukum saja?', 'Kenapa cuma jadi pekerja kantoran?', 'Kenapa gak jadi dosen saja?'. Mas juga pernah kok kena. Cuma ya Mas sendiri udah capek berada di bidang akademik dan udah malas belajar yang gitu-gitu lagi, bosan. Jadi ya, mas memutuskan untuk jadi pekerja kantoran biasa agar terlepas dari dunia akademik.” ujar Dean. “Kalau kalian bisa ngejelasin kalau kalian bahagia dengan passion kalian ke Opa, pasti Opa restu kok sama pilihan kehidupan kalian.”

“Betul. Sebetulnya gue juga pernah kok disudut-sudutin Opa. Ya, namanya juga gue internet personality, orang dulu kurang ngerti, kan? Tapi ingat kan dulu, waktu gue sempat ngajak Opa ke interview TV gue? Disitu dia lihat betapa senangnya gue jadi beauty vlogger dan berapa banyak orang yang senang sama gue. Dan setelah itu, ya, udah. Opa senang-senang aja sama gue.” timpa Shia.

Sean dan Joan hanya bisa terdiam setelah mendengarkan cerita mereka.

“Makanya, kalian bertiga tuh orangnya emang jarang mau cerita, jadi Opa gak tahu betapa bahagianya kalian jadi diri sendiri.” tambah Shia.

“Kalau ada waktu, kalian bertiga cerita-cerita lah sama Opa.” ujar Dean.


Satu jam kemudian, Keluarga Wijaya pun sampai di parkiran Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ketiga mobil itu parkir berdampingan, dan semua tetap berada di dalam mobil untuk menunggu kabar Opa.

Di samping kanan mobil Dean, jendela Alphard orangtua mereka terbuka, Papa yang berada di sisi tersebut mengisyaratkan Dean untuk menurunkan jendela. Si sulung pun menurunkan jendela mobilnya.

“Kenapa, Pa?” tanya Dean.

“Papa lagi ngecek Opa di FlightRadar, bentar lagi landing. Kita jalan ke terminal kedatangan sekarang.” ucap Papa.

“Oh, oke.” ucap Dean.

Kemudian Mama ikut memunculkan wajahnya, “Coba tanya Tian, Naya kira-kira bisa ikut ke dalam atau tidak?” tanyanya.

Shia pun menurunkan jendela sebelah kirinya, yang diikuti Tian menurunkan jendelanya. “Mas, Naya bisa ikut jalan ke dalam gak? Atau mau nunggu di mobil aja? tanyanya.

“Aman kok, gak ada kontraksi sama sekali.” ujar Tian.

Setelah memastikan seluruh keadaan aman, Keluarga Wijaya pun turun dari mobil masing-masing dan berjalan menuju ke terminal kedatangan dan duduk di bangku yang tersedia.

Sekitar 20 menit kemudian, Dean dan Shia yang sedang berdiri di dekat kaca terminal kedatangan pun melihat sosok pria tua yang mereka kenali. “Eh itu Opa, kan?” ujar Shia pada Dean.

“Eh, iya!” jawab Dean.

Keduanya pun kembali menghampiri yang lain dan mengabari bahwa Opa sedang berjalan keluar menuju pintu kedatangan. Mereka pun ikut berjalan menuju pintu kedatangan untuk menanti sang Opa.

Tak lama, Opa pun muncul.

“Opa!” seru Shia yang menghampiri Opa lalu merangkul lengannya.

“He he he..” Opa tersenyum setelah disambut oleh cucu perempuan satu-satunya itu.

Dimulai dari Dean, anak-anak pun menyalimi tangan Opa.

“Opa, ini istri Tian, Naya.” Tian memperkenalkan.

“Selamat datang, Opa.” ucap Naya lalu menyalimi Opa juga.

“Oh iya.. halo.. cantik, ya?”

Naya yang mendengar itu tersenyum sambil memukul pelan lengan Tian.

“Opa katanya sama asistennya? Mana?” tanya Dean.

“Lho, ini. Kalian gak liat?” jawab Opa sambil menunjuk pemuda berparas tampan yang berdiri di belakang dirinya.

Semua mata langsung tertuju pada pemuda tersebut.

“Halo. Saya Nicholas Willems. Panggil Niki.” ujar sang pemuda itu.

Shia langsung menganga, ternyata pria tampan yang ia lihat sedari tadi bukan orang asing yang sekedar lewat saja, tetapi asisten Opanya sendiri.

“Masuk lalat noh, mulut lo.” bisik Sean pada kembarannya.

“Kakak naksir ya?” goda Joan.

Shia mengernyitkan keningnya lalu pergi menghampiri Tian dan Naya, “Mas, gue ikut di mobil lo aja ya.”

“Hah, kenapa?” tanya Tian.

“Sean sama adek have put me on their radar.” jawab Shia.

Tian hanya bisa menggeleng-geleng keheranan.

© hazelnutbbutter

2,5 tahun terlewati, Keluarga Wijaya telah merampungkan reality show D'Wijayas setelah tayang sebanyak 100 episode di TV. Tidak ada niatan bagu keluarga ini untuk melanjutkan ke Season 2. Mereka selesai shooting sudah lebih dari 5 bulan yang lalu dan sekarang, mereka kembali melanjutkan kehidupan sehari-hari Keluarga Wijaya seperti biasa, tanpa kamera di seluruh sudut rumah.

Hari ini adalah hari Jumat siang, sekitar jam 13.00 di mana waktu Jumatan telah selesai. Sesampainya di rumah, para pria Wijaya, Papa, Dean, Tian yang datang berkunjung, Sean, dan Joan berkumpul di ruang keluarga dan duduk di sofa lalu menghela napas.

“Haah..”

“Kenapa kok bisa kompak gitu?” tanya Shia yang dari tadi duduk di sofa ruang keluarga sambil mengupas kulit kuaci itu terbingung melihat ayah dan empat saudaranya yang terlihat kecapekan.

“Si Sean habis berantem sama maling sendal di masjid.” balas Tian. Satu masjid pada nontonin kita. Malu banget, heran.”

“Kita yang ngelerai juga ikut malu.” timpa Dean sambil menutup wajahnya dengan satu tangan.

“Itu sandal hasil gue ngemis ke stylist gue, tau! Mahal!” protes Sean dengan wajahnya yang masam itu.

“Udah tahu mahal, malah dipakai Jumatan. Tolol.” maki Joan kepada kakaknya.

“Heh.” sahut Sean.

“Ck, adek. Bahasanya.” decak Papa sambil memukul pelan lengan atas Joan yang membuat ia manyun sambil mengelus lengannya itu.

“Kan harus memakai pakaian terbaik katanya kalau Jumatan.” lanjut Sean, membela dirinya.

“Pakaian mah, ya pakaian aja, jangan segala pakai sandal Gucci asli ke masjid, lah! Orang mau beribadah, bukan photoshoot...” ketus Joan.

Shia hanya bisa menggeleng-geleng keheranan dengan ulah kedua saudaranya itu sambil lanjut mengupas kulit kuaci sembari menonton berita di TV.

Tangan Sean pelan-pelan menyelinap ke piring yang berisikan banyak kuaci yang sudah terkelupas. Namun sebelum tangannya berhasil mengambil kuaci tersebut, Shia langsung sigap menebasnya.

PLAK!

Shia memukul tangan Sean dengan agak keras. “Orang tolol dilarang makan. Lagian gue kupas duluan biar bisa langsung gue makan!” tukasnya.

Papa yang melihat percekcokan anaknya lagi, hanya bisa menepuk jidat lalu memilih untuk meninggalkan ruang keluarga menuju ke ruang kerjanya.

Baru beberapa detik ditinggal sang ayah, tampaknya pertengkaran si kembar ini mulai memanas.

“SAKIT, ANJING!” seru Sean.

“Ya kalau lo mau kuaci, beli sendiri sana.”

“Sial, pelit amat.”

“Daripada elo, udah miskin, tolol lagi.” balas Shia.

“Astagfirullah,” ucap Dean sambil mencubit tulang hidungnya. “Emang gak harusnya gue gak usah sewain tuh apartemen gue kemarin..”

“Dah, gue bubar. Mau lanjut nyusun skripsi.” kata Joan, yang hendak beranjak dari sofa untuk kabur dari pertikaian kembar Wijaya ini.

“Gue juga mau balik. Ada pre-natal class bentar. Naya di library kan sama Mama?” tanya Tian.

“Hooh,” balas Shia.

PLAK!

“DIBILANGIN KAGAK YA KAGAK!” seru Shia setelah menepis kasar kembali tangan Sean yang mencoba lagi mengambil kuacinya.

“Karena pelit begini nih, makanya lo gendut!” ledek Sean.

“Apa?!” seru Shia lalu mulai menjambak kepala Sean.

“AAAAA!!! SAKIT BADROL!!” jerit Sean sambil menepuk-nepuk keras tangan Shia yang menjambaknya.

“Ih anjay, gak jadi balik gue. Seru.” ujar Joan yang kembali duduk di sofa.

“Juga.” timpa Tian yang ikut duduk kembali.

“Aduh! Dek!” pekik Dean lalu berusaha untuk melerai keduanya dengan melepasnya tangan Shia dari kepala Sean. “Kalian ini sudah 26 tahun masih aja kayak anak kecil!”

Sssrrt!

Si sulung pun berhasil melepaskan tangan Shia dari kepala Sean, namun tampaknya di tangan Shia terdapat kumpulan rambut yang rontok. Sean yang melihat isi tangan Shia lantas kaget lalu berdiri dan berjalan ke cermin terdekat untuk memeriksa kepalanya.

“SHIANJING!!!!”

© hazelnutbbutter

Seperti hari-hari biasanya, sepulang kuliah di sore hari, Ezra dan Alesya pergi kencan berdua, sekecil apapun kencan itu. Entah mulai dari makan batagor di pinggir area kampus, nonton di bioskop, sampai makan mewah, ataupun sesimpel ngerjain tugas bareng di co-working space seperti yang mereka akan lakukan hari ini.

Karena setiap hari mereka selalu berduaan, 5 per 7 hari dalam seminggu dihabiskan bersama. Weekend adalah waktu mereka untuk berpisah dan fokus dengan waktu bersama keluarga. Itu adalah rutinitas mereka selama 2 bulan ini.

“Denah tipikal kamu udah jadi?” tanya Ezra dengan laptop di hadapannya, dengan software Revit yang sedang terbuka.

Alesya mengangguk sambil menyeruput es matcha-nya. Tak lupa juga ia sibuk dengan iPad-nya, sedang mencoret-coret sesuatu. “Tapi gue kerjainnya di desktop.”

Ezra pun mengangguk. Kemudian ia mulai menyadari perilaku Alesya yang dari tadi sibuk mencoret-coret di iPad-nya. “Stupa?” tanyanya.

*STUPA : Studio Perancangan Arsitektur/SPA, mata kuliah wajib di jurusan Arsitektur dan memiliki 5-6 tingkat (tergantung universitas). Ada universitas yang SPA 1 mulai dari semester 1, ada juga yang baru mulai dari semester 2.

“Hmm.” Alesya membalas, “Argh, gimana ya bagusnya ini eksterior?!”

Ezra pun menggeserkan bokongnya untuk duduk lebih dekat dengan Alesya, dan melihat coretan di iPad-nya. “Tentu saja, seperti biasa, Mbak Alesya classic architecture enthusiast.” ujarnya. “Itu mah kamu nyari susah sendiri, sayang.. desain rumah sakit kelas A pakai arsitektur klasik. Kita masih semester 4..”

Alesya memutar kedua bola matanya kesal, “Daripada kayak lo, arsitektur modern terus, gak ada tantangannya sama sekali.”

“Hahahah, inilah yang bikin gue suka sama lo.” balas Ezra gemas sambil mengacak-acak rambut Alesya. “Judes.”

“Ih, tolol.”

Ezra pun kembali ke posisi duduk awalnya dan mulai fokus mengerjakan tugas di laptopnya. Kedua sejoli itupun akhirnya sibuk masing-masing.

“Alesya?”

Sang empunya nama dan juga Ezra refleks menengok ke sumber suara. Di hadapan mereka, ada seorang pria berparas tampan yang tampak lebih tua dibanding mereka, berpakaian rapi dengan postur tubuh yang baik, membuat penampilannya terlihat sangat dewasa.

Awalnya Alesya terdiam, berusaha mengingat siapa pria yang mengenalinya ini. Namun akhirnya, ia pun berhasil mendapatkan ingatannya hingga tersenyum lebar. “Mas Abizar?” pekiknya.

Hah, siapa nih? Mas? Kenapa Ale jadi senyum sumringah gitu? Gue baru lihat dia senyum begini? batin Ezra yang dari tadi hanya diam dengan canggung.

“Ya ampun, sudah gede aja kamu, jadi cantik, deh!” ucap pria yang Alesya panggil Mas Abizar itu.

Heh, apa ini?

“Mas Abi juga tambah ganteng, keren!” senyum Alesya.

What the what what? Ale aja gak pernah bilang gue ganteng?!

“Ah, Ale.. eh ini kamu lagi ada temen, ya? Mas duluan aja kalau gitu.” Abizar pamit, kemudian mengeluarkan kartu nama dari dompetnya, lalu ia berikan kepada Ale. “Ini nomornya Mas.”

First of all, gue cowoknya Ale. Kedua, yak monggo silakan pergi. Ketiga, ngapain lu ngasih nomor ke Ale?!

“Eh, gak papa, Mas Abi! Kita ngobrol-ngobrol!” ucap Alesya, menahan Mas Abizar yang hendak pergi.

WHAT?!

“Ini namanya Ezra, mas.” ucap Alesya, memperkenalkan sang pacar yang dari tadi hanya planga-plongo sambil ngebatin.

Ezra mengulurkan tangannya, “Ezra.” ucapnya sambil tersenyum masam.

“Abizar.” Abizar menjawab. Keduanya berjabat tangan, diikuti oleh Abizar yang duduk di kursi samping Alesya. “Ah, iya. Sekalian kamu saya kasih business card saya juga.” ujarnya sambil memberikan kartu nama yang baru kepada Ezra.

Ezra menerima dan membaca kartu nama tersebut.

Abizar Al Fareza Advokat & Konsultan Hukum +62-811-xxx-xxxx

Hmm?

“Sudah lama banget gak ketemu ya, mas!” seru Alesya girang.

“Ini kamu sudah kuliah ya? Semester berapa?” balas Abizar dengan ramah.

Jujur, ini pertama kalinya Ezra melihat Alesya senyum selebar dan terlihat sebahagia itu selama 6 tahun mengenalnya. Hal ini membuat dirinya menjadi somehow insecure.

© hazelnutbbutter

Pukul 14.35.

Setelah kelasnya dibubarkan 5 menit yang lalu, Ezra pun segera keluar dari ruang kelasnya dan pergi ke bangku-bangku yang ada di dekat lift gedung untuk duduk, menunggu sang “pacar” yang di mana ia tahu sendiri bahwa orang yang ia tunggu itu akan muncul tak lama lagi. Ia memainkan ponselnya sambil sesekali melihat ke arah koridor ruang kelas Alesya, jikalau kelasnya sudah bubar.

“Tumben gak langsung pulang, lagi nunggu siapa, Zra?” sapa seseorang sekaligus bertanya.

Ezra menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri di depannya. “Eh, Bim.” pekik Ezra setelah menyadari bahwa dirinya sedang disapa. “Enggak ada, kok..”

Orang yang menyapa Ezra adalah Bima, teman seangkatan dan tentunya sejurusannya dan Alesya. And he's not the type of 'friend' you might want to interact with. Namun Ezra termasuk tipe orang yang cukup cuek soal interaksi pertemanan, jadi ia juga tidak terlalu menghindar dari Bima. Toh, mereka juga tidak sedekat itu untuk merasakan ke-toxic-annya.

Tak lama, kelas Alesya sudah dibubarkan dan mahasiswa-mahasiswa dari ruang kelas itu mulai bertumpahan keluar dari ruangan, termasuk dengan sang target yang sedang berjalan ke arah Ezra dan Bima.

“Hai, ketkel.” sapa Bima pada Alesya.

Alesya memicingkan matanya pada pemuda itu sambil seolah berpikir. Do I know you? batinnya. Ya, sampai sekarang, dia memang tidak terlalu bisa mengenali teman sejurusannya kecuali Rosa dan Ezra. Thanks to her ignorance towards people she doesn't care about.

Tak perlu banyak tanya, Bima langsung berceletuk, “Bima. Fisika Bangunan kelas C. Lo kan ketua kelasnya, Le.”

Setelah mendengar itu, Alesya langsung ber-oh, “Oh.. iya.” balasnya kikuk.

“Parah banget, nih teman seangkatannya sendiri gak dikenal.” ledek Ezra.

Alesya memutar kedua bola matanya, “Bodo.” jawabnya ketus pada Ezra.

“Ya udah deh, Bim. Kita cabut dulu.” ujar Ezra lalu beranjak dari posisi duduknya di bangku.

Bima menunjuk keduanya, “Eh? Berarti lo dari tadi nungguin Alesya?” tanyanya penasaran.

Dengan kikuk, Ezra menjawab, “M-mau ketemu dosen kita.” katanya, bohong, tentunya.

“Masa sih.. bukan lagi deket?” celetuk Bima dengan nada meledek sambil menyenggol lengan atas Ezra dengan sikutnya.

“Kepo banget lu.” ketus Alesya, tidak lupa dengan gerakan alisnya yang sinis lalu segera melangkah menjauh dari Bima bersama dengan Ezra, memasuki lift.

Di dalam lift, hanya ada Ezra dan Alesya berdua saja, sehingga gadis itu dapat mengomel sepuas hati. “Kampret. Ngeselin banget sih dia jadi orang.” ia mengeluh, dengan pose tangan terlipat.

“Hahaha,” Ezra hanya bisa tertawa kikuk.

Keduanya pun berjalan berdampingan di dalam area kampus, keluar dari lift, lalu pergi ke parkiran departemen. Sebelum masuk ke dalam mobil, Ezra pun bertanya terlebih dahulu kepada Alesya, “Ini serius lo gak papa, ada Eca nanti?”

Alesya memalingkan pandangannya dari Ezra, “Ya, walau tontonan gue di rumah masih belum kelar, tapi gak masalah sih kalau mau seharian main sama Eca. Toh dia senang-senang aja ketemu gue, kan?”

Ezra tersenyum, “Makasih, ya.” ucapnya. “Tapi sayang juga sih, karena kesempatan gue buat nge-date sama lo jadi gugur.”

Don't worry, I'll give you another chance.” jawab Alesya. “Atau kalau lo do a good job hari ini, bisa aja gue langsung 'mempertimbangkan', kan?”

Ezra melipat tangannya, “Hm, I'm starting to see that this 'trial dating' thing is a bullshit. Lo beneran suka kan sama gue, sebenarnya?” tanyanya frontal.

Alesya berdehem, “Ekhm. Mulai dah, penyakit narsisnya.” ucapnya. “Udah lah, buru masuk. Udah mau jam 3, anjir.”

“Iya, mbak.” balas Ezra.

© hazelnutbbutter

Memikirkan akan bertemu pujaan hatinya membuat Ezra tidak tenang, rasa senangnya bercampur dengan rasa gugup dan takut mengingat ia baru saja menyatakan perasaannya kemarin. Ia pikir semuanya akan baik-baik saja, until reality hits. Dia jadi sangat merindukan Alesya.

Ezra melihat dari ujung matanya, sang ayah tertidur lelap karena kelelahan di perjalanan. Begitu pun juga dengan ibunya yang terlihat tertidur pula dari pandangan kaca spion tengahnya. Ezra jadi sibuk menenangkan dirinya sendiri. Hanya ada sekitar 10 menit lagi hingga ia sampai di kompleks perumahan Alesya.

Rasanya kakinya ingin sekali bergetar namun tak bisa karena ia harus fokus menginjak pedal gas dan juga rem bergantian dengan kaki kanannya.

Tak lama, mobilnya pun sampai di depan rumah Alesya. Ezra memindahkan tuas persnelingnya dari D ke P. Karena tiba-tiba mobil jadi tidak bergerak, Mama Ezra tampaknya terbangun dari tidurnya. “Udah sampai rumah ya, bang?”

“Belum, Ma. Ini rumahnya teman aku, mau jemput adek, kan?” ujar Ezra sambil membuka sabuk pengamannya. “Mama disini aja, aku yang turun. Papa masih tidur nih.”

“Oh, ya udah.” balas Mama. “Eh ini, Macaron-nya jangan lupa.” Mama menyodorkan sebuah paper bag kecil kepada Ezra. Pemuda itu tersenyum ketika menerimanya lalu kemudian turun dari mobil yang tidak dimatikan mesinnya.

Ezra berjalan melewati pagar dan memencet bel pintu utama rumah tersebut.

TING TONG!

Ah, rasanya seperti deja vu. Terakhir kali ia kesini adalah saat ia merawat Alesya yang sakit, lalu pintu ini dibukakan olehnya dengan wajah yang pucat setelah 3 kali denting bel.

Krek

Pintu di hadapan Ezra pun terbuka. Di hadapannya, muncul perempuan pujaannya dengan rambut panjang digerai yang masih terlihat segar meskipun telah menghabiskan waktu dengan seorang bocah berumur 5 tahun.

“Eh, udah datang aja lo.” celetuk Alesya yang membuka pintu.

“Memangnya lo mau lama-lama sama Eca?” tanya Ezra.

“Ekhm.” Alesya berdehem dengan kikuk karena tentu tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang babysitter ketika anak yang ia jaga dijemput kembali oleh keluarganya. “Eca masih asik main di dalam sih sama bokap gue. Lo masuk aja dulu sebentar, gue panggilin mereka.”

Ezra mengangguk, “Tapi jangan lama-lama, ya. Bokap nyokap gue nunggu di mobil. Pada istirahat.”

“Ooh..!” mendengar itu, Alesya seketika gelagapan dan segera berlari ke dalam rumahnya untuk mencari Eca. Lalu tak lama, Eca pun muncul bersama dengan Papi Alesya.

“Abang!” seru Eca yang kemudian berlari dan memeluk betis Ezra.

Sepertinya ini kali pertamanya mereka bertemu secara langsung walau kedua anak ini sudah mengenal cukup lama. Kesan pertama Papi Alesya bagi Ezra adalah bahwa beliau terlihat menyeramkan. Apa karena efek pekerjaannya sebagai jaksa? Atau karena merupakan seorang ayah dari anak perempuan tunggal? Mungkin keduanya. Jelas beliau akan tidak langsung menyukai seorang pria sebaya anak perempuan tunggalnya yang terus menerus mendekatinya.

“Oh.. jadi kamu yang namanya Ezra.” ujar Papi Alesya.

Ezra mengulurkan tangannya pada Pak Chandra dengan niat untuk salim namun secara halus ditolak oleh beliau dan digantikan dengan jabat tangan.

Pak Chandra menguatkan cengkraman tangannya saat menjabat tangan Ezra, “Jangan macam-macam ya kamu sama anak saya.” ujarnya. “Saya tak segan-segan bertemu dan menuntut kamu di pengadilan.”

Ezra menelan liurnya karena sedikit takut. Melihat itu membuat Alesya sedikit tergelitik. Dengan persona yang menurutnya easygoing, Ezra bisa terlihat sebagai penakut juga apabila bertemu dengan Papi Alesya.

Setelah perkenalan yang penuh dengan ketegangan itu, dua Pradipta bersaudara pun pamit untuk pulang dari kediaman Pak Chandra.

“Dadah, om Canda!” Eca melambaikan tangannya pada Papi Alesya yang dibalas dengan senyuman lebar.

“Permisi, om. Kita pamit dulu. Makasih om,” ucap Ezra yang sama sekali tak diindahkan oleh Papi Alesya.

Ezra bergidik ngeri lalu berjalan menuju ke luar pagar sambil menggandeng tangan Eca, dan juga diantar oleh Alesya.

“Bokap lo emang serem gitu, ya?” tanya Ezra.

“Pfft, cupu lo.” ledek Alesya dengan sedikit berbisik agar tak didengar oleh Eca.

“Bukan cupu, karena ini bisa buat jadi motivasi gue untuk semakin mendapatkan lo.” balas Ezra dengan percaya diri sehingga membuat Alesya menjadi gagu.

Alesya hanya diam tak berkutik. Hal itu jadi membuat Ezra bingung karena Alesya yang ia kenal pasti akan selalu menepis gombal murahan yang seringkali ia lontarkan.

Gadis itu berdehem kikuk. “Hem. Dah, lo pulang gih. Gue mesti masuk lagi.” ujarnya lalu hendak pergi dari hadapan Ezra.

“Eh, tunggu!” seru Ezra. “Ini,”

Ezra mengulurkan paper bag kecil isi Macaron dan sebuah kantong plastik transparan isi Rotiboy kepada Alesya. “Buat lo,” ucapnya.

Alesya dengan canggung menerima pemberian Ezra. “M-makasih...”

“Ya udah, kita pergi dulu ya,” ucap Ezra. “Eca, pamit dulu sama kakak Ale dan bilang makasih.”

“Kakak Ale, dadah! Makasih udah jaga Eca!”

Alesya tersenyum tipis entah karena memandang Eca atau Ezra. Ezra menyadari senyuman langka perempuan itu dan menjadi salah tingkah sedikit.

Tampaknya gue gak bakal semudah itu kalau mau move on dari dia.. gue sudah jatuh terlalu dalam.

© hazelnutbbutter