047. Menghadapi Kenyataan

Joan melempar ponselnya ke kasur setelah membalas pesan di group chat bersaudaranya. Ia mengacak-acak rambutnya lalu menggeram, “Aargh! Gue kenapa, sih?!”

Ia menidurkan kepalanya di meja kerjanya, berusaha untuk mengosongkan pikirannya sembari sedikit berpikir rasional.

Tidak sampai satu menit ia beristirahat, pintu kamarnya digedor-gedor hebat.

DUNG! DUNG! DUNG!

Joan tahu persis siapa itu, pasti kakak ketiganya, Sean yang tidak pernah sadar akan kekuatan fisiknya.

“WOEEE! ADEK! BUKA GAK LO?!” suara teriakan Sean dapat terdengar jelas dari dalam kamar Joan.

Joan hanya berdecak kesal lalu ia berbaring di tempat tidurnya sambil menutup kedua kupingnya.

Sementara itu, di luar kamar Joan, Sean masih sibuk menggedor-gedor pintu kamar adiknya.

“Lo kalau ada masalah sama gue bilang dong! Kan biasanya juga gitu! Ngapa jadi ngambek gak jelas?!” seru Sean. “Kalau lo gak buka-buka pintu, gue dobrak nih!”

BRUK! BRUK! BRUK! BRUK! BRUK

“JOAN!” seru Sean.

Tak lama, muncullah Dean dan Shia dari kamarnya karena mendengar suara bising.

“Eh! Lo ngapain sih gedor-gedor pintunya adek?!” seru Shia yang menarik kasar tangan Sean dari daun pintu kamar Joan.

“Itu dianya yang tiba-tiba ngambek gak jelas orang tadi malem baik-baik aja?!” protes Sean. “Kayak cewek PMS tau gak?!”

“Kayak tau cewek PMS gimana aja..” sindir Shia.

Sean mengernyit lalu mengunjuk tangan kanannya ke arah Shia, “Uhm, hello?

“Gue kagak brutal ya, anjir!” seru Shia sambil menepis tangan kembarannya itu.

Dean hanya bisa mencubit dahinya karena sudah cukup ia melihat adik-adiknya berantem seumur hidupnya.

“UDAH! Capek dah gue liat kalian semua berantem mulu dari dulu. Lo semua udah bukan anak kecil lagi, tau gak!” kesal Dean.

Sean dan Shia spontan kaget melihat Dean yang mereaksi seperti itu. Sebab sang kakak sulung itu jarang sekali memperlihatkan ekspresi marahnya.

“Sean, lo kembali ke kamar lo. Biarin adek sendiri dulu. Pasti ada alasan kenapa dia marah sama lo tapi gak bisa bilang.” ucap Dean.

“I-iya…” jawab Sean yang kemudian meninggalkan tempat.

“Shia, lo coba sekarang telepon Tian. Kayaknya dia tahu deh adek kenapa.” kata Dean.

Shia mengangguk, “Oke, wait.” ucapnya lalu segera mencari nomor kakak keduanya di daftar kontaknya pada ponsel yang ia pegang dari tadi.

“Nih, lagi ringing.” ucap Shia.

“Oke.” balas Dean. “Haduh.. untung aja lagi gak ada orang di rumah.. bisa-bisa mereka berdua diceramahin brutal sama Papa..”

“Bakal lebih parah lagi kalau diliat sama Opa, mas.” tambah Shia.

“Halo?” terdengarlah suara Tian dari seberang telepon.

“Mas Tian!” pekik Shia.

“Kenape?” tanya Tian.

“Adek sama Sean berantem!” ujar Shia.

“Emang sering berantem kan mereka..” balas Tian.

“Beda, mas! Yang ini serius!”

“Berantem gimana?!” pekik Tian.

Dean mengisyaratkan Shia untuk memberikan ponsel itu kepadanya, kemudian Shia berikan ponselnya kepada sang kakak.

“Tian? Ini gue.” ujar Dean.

“Oh iya, men.” balas Tian. “Maksudnya mereka berantem, gimana?”

“Itu… kayaknya setelah chatan di grup, si Seannya bingung karena adeknya gak ada angin, gak ada hujan, ngambek… jadi dia gedor-gedor kamar adek tapi karena adek gak mau buka, dia ngancem mau dobrak pintunya.. si Sean ya jadi kesal karena tiba-tiba dimusuhin. Padahal si adek kan lu tau sendiri kalau ada masalah langsung bilang, nah ini kagak.” balas Dean. “Untungnya Mama Papa lagi ada schedule terus Opa juga lagi keluar sama asistennya.”

“Anjir…” balas Tian.

“Kita nelpon lo bukan buat life update dan minta reaksi ya.” ketus Dean. “Lo tau gak kenapa si adek ngambek? Mumpung ini gue sama Shia masih di depan kamarnya, mau ngajak ngomong bentar.”

“Kenapa nanya gue? Orang gue udah gak tinggal bareng lu pada.” jawab Tian.

“Habisnya lo di group chat juga kayaknya biasanya, malah menikmati pertengkaran mereka. Terus gue liat di Twitter balasan-balasan lo seakan tahu sesuatu.” tambah Dean.

“Ternyata ada gunanya juga gue di keluarga ini, gak cuma menjadi pembawa cucu pertama aja.” ujar Tian.

“KASIH TAHU GAK MAS?! Atau nanti acara syukuran lo nanti siang diisi oleh cekcoknya Sean sama adek!” geram Shia.

“Anying, jelek amat ancamannya!” protrs Tian. *“Gue sendiri juga gak tahu pasti ya penyebabnya, cuma… tadi pagi si adek minta izin mau bawa Pinky ke acara bentar, gue ya bolehin aja, kenapa engga? Toh Pinky juga udah sering ke acara keluarga kita. Terus ya kayak setengah jam kemudian gue liat tweetnya adek yang bilang ‘yang ngajak siapa, yang mau ditemuin siapa’. Dari situ gue konekin aja ‘Oh iya, kan si Pinky naksir Sean ya’. Jadi ya gue ledekin aja dari situ. Gue pikir ya gak bakal gimana-gimana even pas chat pertama di grup tadi. Tapi pas di akhir kok malah jadi begindang….. ditambah sama yang tadi kelen kabarin.”*

Dean dan Shia saling menatap, “Berarti…. itu adek…?”

“Dia jealous sama Sean kali.” ujar Tian. “Kayaknya ini pertama kali juga dia suka cewek, yang for real.”

Shia menepuk jidatnya. “Ini adek bontot kita kenapa pubernya telat amat, dah…. umur 23 baru cinta-cintaan..”

Dean menambah, “Selama ini adek sama Pinky kan bro banget, apa ini baru pertama kali dia ada rasa?”

“Itu dia gak tahu rasa suka cewek tuh gimana. Kan dia kayak elu bang, dari kecil belajar mulu. Dasar anak sulung sama bontot IQ tinggi.” timpa Tian. “Lo dulu pas pertama kali suka sama cewek juga bentukannya aneh.”

“Berarti mas Dean aja yang ngomong sama adek.” ujar Shia.

Dean hanya mengangguk sambil menatap pintu kamar Joan. Ia kemudian mengetuk pintu itu perlahan.

Tok tok tok!

“Dek.. ini Mas Dean..” ujar Dean. “Si Sean udah gak ada, cuma ada Shia.”

Tak lama, Joan membukakan pintu kepada dua kakaknya itu. Walau Dean dan Shia sudah dipersilakan masuk, Joan tak bergeming dan kembali berbaring di tempat tidurnya sambil berselimut.

Shia mendekati tempat tidur Joan dan berjongkok di dekat pinggiran ranjang untuk menemui mata sang adik.

“Adek kenapa lemes banget hari ini?” tanya Shia lembut.

Joan hanya menggeleng.

“Gue bawain tensi, ya.” tukas Dean yang mengundang tatapan tajam Shia.

“Mas Dean apaan sih.” ujar Shia. “Jangan tukeran personality sama Mas Tian, deh.”

You know what? That’s a good idea.” tukas Joan.

Dean pun keluar dari kamar Joan lalu kembali dengan alat ukur tensi yang ia ambil dari kamarnya. Ia kemudian mengukur tensi adiknya.

“Normal, kok.”

That’s weird. Padahal dari tadi gue merasa kalau kayaknya blood pressure gue naik.” kata Joan. “Terus dada gue juga rasanya sakit.”

“Sakit gimana? Kayak ketusuk gitu?” tanya Shia.

Joan menggeleng, “Kayak kalau kena radiasi.”

“Gimana ceritanye…” batin Shia.

“Sesak?” tanya Dean.

“Mirip. Tapi gak juga.” balas Joan.

©️ hazelnutbbutter