031. A Talk With Opa

Setelah mendapatkan 'panggilan' dari sang kakek, Joan memilih untuk menuruti permintaan Opanya dan berjalan menuju ke taman belakang rumahnya untuk menemui Opa setelah berpikir panjang dengan bantuan sahabat dan kakak-kakaknya.

Di bawah sinar rembulan, ia melihat siluet pria baya yang duduk di kursi taman sambil menyeruput minuman dari gelas keramiknya. Mungkin itu teh atau wedang jahe.

Joan duduk pada kursi yang ada di hadapan Opa, namun ia memalingkan wajahnya dari si kakek. Keduanya hanya diam dengan canggung selama 2 menit.

“Ehem.” Opa hanya berdehem lalu kembali menyeruput wedang jahe hangatnya. “Kamu suka jadi mechanical engineer?”

Joan mulai tertarik dengan pertanyaan yang dilontarkan Opa. Ia mengangguk, “Iya.”

“Kenapa dulu tidak mau masuk kedokteran?” tanya Opa.

Joan menghela napasnya, “Not this again..” batinnya. Namun mengingat perilaku tidak sopannya tadi malam, Joan memilih untuk menjawab saja dengan serius.

With all respect, Opa. Joan sendiri emang gak pernah berminat di medical field. Dan tentunya ya gak pernah sama sekali aku bercita-cita jadi dokter. Joan suka hal yang practical and innovative, dan punya passion di mechanical engineering.” jawab Joan.

“Dokter juga bisa practical and innovative,” balas Opa.

Joan jujur sudah cukup muak walau hanya baru sekitar 3 menit ia membuka obrolan dengan sang kakek. “Opa kenapa obsessed banget buat cucu-cucunya jadi dokter, sih? Padahal profesi lain juga bagus.”

“Opa cuma menyayangkan saja kepintaran kamu dan abang sulung kamu.” jawab Opa. “Dari ayahmu kecil, sampai ke kamu sendiri, tidak ada yang mau jadi dokter. Bahkan mau mendaftar masuk kedokteran saja tidak mau.”

“Kenapa harus sengebet itu sih, Opa?” tanya Joan lagi.

“Kakek buyut kamu, ayah Opa, itu dulunya dokter pas masih zaman Belanda. Karena melihat ayah, Opa juga ingin jadi dokter namun selalu gagal jadinya masuk ke hukum.” jawab Opa. “Opa janji ke diri Opa sendiri kalau anak Opa harus ada yang jadi dokter. Tapi tidak ada yang mau, mana ayah kamu anak tunggal pula. Opa jadinya hanya punya kalian sebagai cucu sebagai opsi terakhir. Waktu Dean bersikeras menolak, Opa sangat sedih padahal dia dikarunai dengan kecerdasan di atas rata-rata. Kakak-kakak kamu yang lain pun juga kurang mampu. Jadi harapan terakhir Opa cuma di kamu, sebelum Opa meninggal.” jelas Opa pelan. “Opa mau lihat langsung keturunan Opa jadi dokter.”

Joan terdiam sejenak, “Opa, maaf Joan lancang, tapi anak dan cucu Opa itu punya kehidupan dan gairahnya sendiri, jadi kurang pantas jika Opa memaksakan keturunan Opa untuk meraih mimpi Opa yang gagal.”

Opa mengangguk pelan, “Opa tahu, ini semua hanya untuk kepuasan ego Opa sendiri.” ucapnya sambil menghela napas lalu menyeruput kecil teh hangatnya. “Maaf kalau sudah menyakiti perasaan kamu dan kakak-kakakmu selama ini. Opa memang sudah terlalu keras..”

Joan tersenyum, “Opa makanya sehat-sehat! Hidup yang lama siapa tahu ada cicitnya yang masuk kedokteran? Anaknya Bang Tian kan bentar lagi lahir, misal dia ternyata masuk kedokteran dan Opa bisa hidup sampai 100 tahun, pasti dia sudah jadi dokter kan?”

Opa tersenyum simpul, “Benar juga, hahaha.”

“Misal lho ya, Opa, misal.”

“Iya..” balas Opa. “Eh, mumpung ngomongin Tian, due date istrinya kapan?”

Ting! Ting! Ting!

“Eh, maaf Opa. Joan cek HP dulu.” ucap Joan lalu merogoh saku dan mengambil ponselnya. Matanya terbelalak setelah melihat notifikasi di lockscreennya.

“Kenapa?” tanya Opa.

“Ah, enggak..” balas Joan.

©️ hazelnutbbutter