026. Dinner with Opa
Acara yang paling tidak penting dan memalaskan namun orang kaya sering lakukan adalah makan malam. Memangnya apa sih yang spesial dari makan malam sehingga menjadi simbol kemewahan? Kan cuma makan di malam hari saja, apapun makanannya.
Sejujurnya Keluarga Wijaya juga tidak sekaya konglomerat tujuh turunan atau apa, tetapi mengapa harus ada makan malam spesial?
Mas Dean sudah terlebih dahulu berangkat dengan Mama, Papa, Opa, dan Mas Niki. Jadi di sisanya harus menyusul. Untuk Tian, dia berhasil untuk menghindar dari makan malam ini dengan alasan ada sesi birthing class untuk Naya. Entah kenapa dipercaya saja oleh Papa, padahal Naya sudah menamatkan semua sesi kelas hamil sampai persiapan melahirkan. Tetapi akan dimaklumi saja oleh adik-adiknya karena kakak iparnya sendiri akan segera melahirkan dalam waktu yang sangat dekat, mungkin hanya tinggal hitungan jam lagi.
“Kak, kita kabur aja deh.” usul Joan pada Shia yang sedang memasang anting di telinga kirinya.
“Setuju. Soalnya dari tadi Opa belum ngomong apa-apa sama kita. He'll definitely drop the bomb tonight.” timpa Sean.
“Betul, betul!”
“Semalas-malasnya gue ikut ini dinner, gue gak mau kabur, ya.” kata Shia lalu memakai sepatu. “Sean, lo yang nyetir ya. Rabun senja gue kambuh lagi.”
“Sial, dasar emak-emak.” cibir Sean. “Bilang aja lo mau caper sok cantik sama asistennya Opa.”
Shia tersenyum pahit, “First of all, gue cantiknya beneran. Kedua, no.” balasnya. “Udah lah, adek aja yang nyetir. Ogah gue duduk di depan sama elo.”
“Ish, dasar kakak-kakak kembar.” cibir Joan sambil menerima kunci mobil Shia.
Sesampainya mereka di restoran tujuan, ketiga kakak-beradik itu duduk di kursi kosong yang tersedia. Sean dan Joan bekerjasama untuk membuat Shia duduk di sebelah Mas Niki.
“What the hell?!” bisik Shia kepada keduanya.
“Biar ada buahnya sedikit hasil lo dandan.” balas Sean yang ditambah oleh cekikikan Joan.
“Lho, Tian tidak ikut?” tanya Opa.
“Naya baru kontrak- AAAARGH!”
Omongan Sean langsung dipotong oleh Shia yang menginjak kaki kembarannya dengan kencang.
“Baru.. k-kontakan sama tutornya, Naya ada birthing class, Opa. Sudah dekat due date. Harus Mas Tian temani.” potong Shia.
“Sean kenapa teriak?” tanya Opa.
“Gak papa, Opa. Hnng.. tadi ada semut ngegigit..” balas Sean sambil melirih.
“Laki-laki dewasa digigit semut doang kok teriak.” cibir Opa.
“Semutnya ganas, Opa. Semut rabun senja.” timpa Sean.
“Hmm?” gumam Opa. “Joan, kamu kerja apa sekarang? Pasti bukan model tidak jelas seperti abangmu itu kan?”
Sean yang mendengar dirinya disebut itu hanya bisa tersenyum. Joan sendiri menganga karena ternyata the bomb is literally dropping right now. Bahkan belum ada lima menit dari kedatangan mereka di sini.
“Joan sekarang mechanical engineer di Neo Culture Technology, Opa.” balas Joan.
“Adek satu-satunya lho yang diterima perusahaan konglomerat di jurusannya tepat setelah lulus.” timpa Dean. “Lulusnya juga summa cum laude, kayak Dean dulu.”
“Lho, gak jadi pindah jurusan?” tanya Opa.
Joan mengernyit karena bingung dan juga kesal karena ia tahu persis kemana arah obrolan ini. “Pindah jurusan?”
“Kalau mau sukses, rintis karir dengan profesi yang jelas, seperti dokter. Kamu yang paling pintar kedua kan setelah Dean? Seharusnya kalau Mas Deanmu tidak mau jadi dokter, kamu saja yang jadi dokter. Karena kakak-kakakmu yang lain tidak mampu.” ucap Opa sambil melambaikan garpunya pada Joan.
Setelah Opa melontarkan perkataan tersebut, suasana ruangan menjadi hening. Raut wajah Mama dan Papa menjadi tidak nyaman, dan wajah para cucu juga berubah menjadi masam, bahkan termasuk Dean dan Shia yang menyenangi Opa.
“Pa, sudah. Anak-anak jadi gak nyaman mau makan..” ucap Papa kepada Opa.
“Kalau profesi dokter sebagus itu buat Opa, kenapa gak Opa saja yang jadi dokter?!” seru Joan lalu keluar dari ruangan.
“Adek! Adek! Joan!” seru Mama dan Papa.
“Aku susul adek dulu,” ucap Dean lalu pergi menyusul si bontot.
“Sean juga.”
“Shia juga.”
Akhirnya, keempat anak itu semua pergi meninggalkan ruang makan demi menyusul adik kecilnya.
“Duh, Papa.. Hasan sudah bilang jangan terlalu keras sama anak-anak.. mereka punya perasaan lho..” ujar Papa kepada Opa.
“Iya, Pa.. anak-anak juga senang kok dengan pekerjaan mereka saat ini. Itu semua mereka sendiri yang pilih jalan hidup mereka, dan mereka juga tahu resikonya.” tambah Mama pada ayah mertuanya.
Opa hanya bisa menghela napas lalu mengarahkan tangannya kepada Mas Niki, “Susul mereka juga.” katanya pada sang asisten.
“Iya, Pak.”
Keempat saudara itu duduk bersama di bangku taman restoran yang mereka tempati di bawah sinar rembulan. Si bungsu dari tadi hanya bisa menghela napasnya berat.
“Sejujurnya gue selama kuliah gak pernah ngalamin yang namanya perasaan 'salah jurusan' kayak kebanyakan mahasiswa. Tapi kalau sama Opa, perasaan itu selalu ada.” ucap Joan sedih. “Rasanya gue menyalahgunakan 'kepintaran' gue gitu lho.”
“Hey, gak semua orang bisa masuk dan survive di Teknik. Apalagi Teknik Mesin, lulus tepat waktu, dan bahkan summa cum laude? Belum lagi kamu langsung diterima kerja di perusahaan besar lagi. Cuma kamu yang bisa, dek.” kata Shia.
“Jujur, terkadang gue iri sama lo, dek.” ujar Sean.
“Masa?” tanya Joan.
Sean mengangguk. “Kata Opa benar. Lo ngikut pintarnya Mas Dean. Gak kayak kita sama Bang Tian yang selalu kesulitan semasa sekolah, bahkan gue sampai kuliah.” ucapnya. “Lo mungkin gak tau, tapi gue dulu pengen masuk Teknik Mesin juga, cuma karena nilai IPA gue gak memungkinkan, jadi linjur.”
“Kita sebenarnya selalu iri sama kepintaran Adek sama Mas Dean. Cuma ya, mungkin gak terlalu keliatan karena Mama dan Papa sendiri gak pernah perlakuin kita berlima beda, kan?” tambah Shia. “Intinya, mau sepintar apapun adek, gak ada jawaban yang benar kok buat pilihan karir. Kan semua balik lagi ke minat dan bakat.”
Joan tersenyum setelah mendengar pep talk dari kakak-kakak kembarnya. Sedangkan si sulung dari tadi hanya diam, fokus mendengarkan.
“Mas Dean gak mau ngomong juga?” tanya Joan.
“Mas bingung, karena rasanya semua ini terjadi karena Mas. Ternyata semua ini gak sekedar bisa dibicarakan yang seperti kita kira. Harusnya gue dulu ikutin kata Opa aja ambil kedokteran biar kalian gak sengsara begini harus menuruti harapan Opa satu per satu.” ujar Dean.
“Ini bukan salah Mas Dean, kok.” ucap Joan.
“By the way, kenapa ya setiap kita deep talk atau ngomongin hal yang serius, Mas Tian selalu absen?” cetus Shia.
“Hahaha, iya. Jadi beneran berasa anak pungut dia.” tawa Joan.
© hazelnutbbutter