020. Menjemput Opa
Hari Sabtu.
Hari Sabtu ini akan menjadi salah satu hari ter-hectic bagi Keluarga Wijaya. Terutama Tian, Sean, dan Joan. Siang ini, mereka akan kedatangan Opa mereka dari Belanda.
Anak-anak Wijaya memiliki dua Opa, satu dari Mama, satu dari Papa. Namun yang akan datang berkunjung adalah Opa Wijaya, alias dari pihak Papa.
Budiman Wijaya, ayah dari Papanya anak-anak adalah pensiunan Jaksa yang memilih untuk menghabiskan masa tuanya di negeri orang, yaitu Belanda bersama sang istri yang biasa anak-anak panggil 'Nana'.
Namun sayangnya, Nana sudah pergi satu tahun yang lalu, meninggalkan Opa sendirian. Well, not literally. Karena ada seorang asisten yang tinggal bersama mereka sejak lama.
“Kak, apa aku pura-pura sakit aja ya biar gak usah ikut jemput Opa?” tanya Joan kepada Shia di mobil saat mereka dalam perjalanan pulang dari rumah Tian ke rumah orangtuanya.
“Udah lah, dek. Namanya juga orang tua, kalau ngomong bisa pedes. Maklumin aja,” balas Shia kepada adiknya.
Setibanya di rumah, merekapun pergi menuju ke kamar masing-masing untuk melanjutkan aktivitas yang seharusnya mereka lakukan. Misalnya Shia yang memutuskan untuk berolahraga dulu di gym-nya Sean sebelum mandi, dan Joan yang langsung pergi ke kamarnya untuk membuka laptop karena ingin mengecek email dari kantor.
Sudah jam 1 siang, Keluarga Wijaya lengkap dengan Naya berkumpul di ruang tamu untuk berangkat bersama ke bandara. Sesuai dengan rencana awal, Mama dan Papa di Toyota Alphard hitam mereka yang akan dibawa oleh Pak Setyo dan nantinya Opa dan asistennya akan ikut di dalam mobil tersebut. Lalu Dean, Sean, Shia, dan Joan akan berada di BMW X5 biru Dean yang akan ia setiri sendiri. Terakhir, Tian dan Naya berada di Lexus LX 600 VIP, mobil mereka sendiri, in case of pregnancy-medical emergency.
Ketiga mobil itupun mulai meninggalkan pinggir jalan kediaman Wijaya satu per satu, dipimpin oleh mobil Alphard.
Di mobil 2, Dean menyetir, Shia duduk di kursi penumpang depan, sementara Sean dan Joan duduk bersama di belakang.
“Udah siap mental gak bang, ketemu Opa?” tanya Joan.
“Kagak. Pencapaian gue selama ini kagak ada yang 'Opa-worthy'.” balas Sean.
“Gue mulai kerja jadi mechanical engineer aja pasti belum tentu bikin Opa senang. Entar diungkit-ungkit soal kedokteran lagi. Hadeh.” ucap Joan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Shia yang duduk di depan pun menengok ke belakang, “Sumpah, gue gak ngerti kenapa lu bertiga se gak sreg itu sama Opa. Gue sama Mas Dean suka lho sama Opa. Ya gak, Mas?” tanya Shia pada Dean yang sedang menyetir.
“Iya,” balas Dean.
“Plis deh. Mas Dean itu dari kecil kan jenius, aksel 3 kali dan sekarang pekerja kantoran yang jabatannya udah tinggi, kerjaan stabil, gaji bagus.” ucap Joan.
“Kalau si Shia sih jujur gue gak ngerti juga. Orang kerjaannya kurang lebih mirip sama kerjaan gue kok. Paling free pass karena satu-satunya cucu cewek.” timpa Sean.
“Heh, enak aje. Waktu lulus kuliah gue magna cum laude, tau. Elo mah cum laude doang.” cibir Shia.
“Mas Dean yang summa cum laude aja diam, kok.” tukas Joan.
“Oke ya, adek-adek sekalian. Gak tahu ya kalau Shia gimana, tapi Mas dulu juga kena pressure sama Opa kok. 'Kenapa gak masuk kedokteran atau hukum saja?', 'Kenapa cuma jadi pekerja kantoran?', 'Kenapa gak jadi dosen saja?'. Mas juga pernah kok kena. Cuma ya Mas sendiri udah capek berada di bidang akademik dan udah malas belajar yang gitu-gitu lagi, bosan. Jadi ya, mas memutuskan untuk jadi pekerja kantoran biasa agar terlepas dari dunia akademik.” ujar Dean. “Kalau kalian bisa ngejelasin kalau kalian bahagia dengan passion kalian ke Opa, pasti Opa restu kok sama pilihan kehidupan kalian.”
“Betul. Sebetulnya gue juga pernah kok disudut-sudutin Opa. Ya, namanya juga gue internet personality, orang dulu kurang ngerti, kan? Tapi ingat kan dulu, waktu gue sempat ngajak Opa ke interview TV gue? Disitu dia lihat betapa senangnya gue jadi beauty vlogger dan berapa banyak orang yang senang sama gue. Dan setelah itu, ya, udah. Opa senang-senang aja sama gue.” timpa Shia.
Sean dan Joan hanya bisa terdiam setelah mendengarkan cerita mereka.
“Makanya, kalian bertiga tuh orangnya emang jarang mau cerita, jadi Opa gak tahu betapa bahagianya kalian jadi diri sendiri.” tambah Shia.
“Kalau ada waktu, kalian bertiga cerita-cerita lah sama Opa.” ujar Dean.
Satu jam kemudian, Keluarga Wijaya pun sampai di parkiran Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ketiga mobil itu parkir berdampingan, dan semua tetap berada di dalam mobil untuk menunggu kabar Opa.
Di samping kanan mobil Dean, jendela Alphard orangtua mereka terbuka, Papa yang berada di sisi tersebut mengisyaratkan Dean untuk menurunkan jendela. Si sulung pun menurunkan jendela mobilnya.
“Kenapa, Pa?” tanya Dean.
“Papa lagi ngecek Opa di FlightRadar, bentar lagi landing. Kita jalan ke terminal kedatangan sekarang.” ucap Papa.
“Oh, oke.” ucap Dean.
Kemudian Mama ikut memunculkan wajahnya, “Coba tanya Tian, Naya kira-kira bisa ikut ke dalam atau tidak?” tanyanya.
Shia pun menurunkan jendela sebelah kirinya, yang diikuti Tian menurunkan jendelanya. “Mas, Naya bisa ikut jalan ke dalam gak? Atau mau nunggu di mobil aja? tanyanya.
“Aman kok, gak ada kontraksi sama sekali.” ujar Tian.
Setelah memastikan seluruh keadaan aman, Keluarga Wijaya pun turun dari mobil masing-masing dan berjalan menuju ke terminal kedatangan dan duduk di bangku yang tersedia.
Sekitar 20 menit kemudian, Dean dan Shia yang sedang berdiri di dekat kaca terminal kedatangan pun melihat sosok pria tua yang mereka kenali. “Eh itu Opa, kan?” ujar Shia pada Dean.
“Eh, iya!” jawab Dean.
Keduanya pun kembali menghampiri yang lain dan mengabari bahwa Opa sedang berjalan keluar menuju pintu kedatangan. Mereka pun ikut berjalan menuju pintu kedatangan untuk menanti sang Opa.
Tak lama, Opa pun muncul.
“Opa!” seru Shia yang menghampiri Opa lalu merangkul lengannya.
“He he he..” Opa tersenyum setelah disambut oleh cucu perempuan satu-satunya itu.
Dimulai dari Dean, anak-anak pun menyalimi tangan Opa.
“Opa, ini istri Tian, Naya.” Tian memperkenalkan.
“Selamat datang, Opa.” ucap Naya lalu menyalimi Opa juga.
“Oh iya.. halo.. cantik, ya?”
Naya yang mendengar itu tersenyum sambil memukul pelan lengan Tian.
“Opa katanya sama asistennya? Mana?” tanya Dean.
“Lho, ini. Kalian gak liat?” jawab Opa sambil menunjuk pemuda berparas tampan yang berdiri di belakang dirinya.
Semua mata langsung tertuju pada pemuda tersebut.
“Halo. Saya Nicholas Willems. Panggil Niki.” ujar sang pemuda itu.
Shia langsung menganga, ternyata pria tampan yang ia lihat sedari tadi bukan orang asing yang sekedar lewat saja, tetapi asisten Opanya sendiri.
“Masuk lalat noh, mulut lo.” bisik Sean pada kembarannya.
“Kakak naksir ya?” goda Joan.
Shia mengernyitkan keningnya lalu pergi menghampiri Tian dan Naya, “Mas, gue ikut di mobil lo aja ya.”
“Hah, kenapa?” tanya Tian.
“Sean sama adek have put me on their radar.” jawab Shia.
Tian hanya bisa menggeleng-geleng keheranan.
© hazelnutbbutter