i hear your heart beats
Memikirkan akan bertemu pujaan hatinya membuat Ezra tidak tenang, rasa senangnya bercampur dengan rasa gugup dan takut mengingat ia baru saja menyatakan perasaannya kemarin. Ia pikir semuanya akan baik-baik saja, until reality hits. Dia jadi sangat merindukan Alesya.
Ezra melihat dari ujung matanya, sang ayah tertidur lelap karena kelelahan di perjalanan. Begitu pun juga dengan ibunya yang terlihat tertidur pula dari pandangan kaca spion tengahnya. Ezra jadi sibuk menenangkan dirinya sendiri. Hanya ada sekitar 10 menit lagi hingga ia sampai di kompleks perumahan Alesya.
Rasanya kakinya ingin sekali bergetar namun tak bisa karena ia harus fokus menginjak pedal gas dan juga rem bergantian dengan kaki kanannya.
Tak lama, mobilnya pun sampai di depan rumah Alesya. Ezra memindahkan tuas persnelingnya dari D ke P. Karena tiba-tiba mobil jadi tidak bergerak, Mama Ezra tampaknya terbangun dari tidurnya. “Udah sampai rumah ya, bang?”
“Belum, Ma. Ini rumahnya teman aku, mau jemput adek, kan?” ujar Ezra sambil membuka sabuk pengamannya. “Mama disini aja, aku yang turun. Papa masih tidur nih.”
“Oh, ya udah.” balas Mama. “Eh ini, Macaron-nya jangan lupa.” Mama menyodorkan sebuah paper bag kecil kepada Ezra. Pemuda itu tersenyum ketika menerimanya lalu kemudian turun dari mobil yang tidak dimatikan mesinnya.
Ezra berjalan melewati pagar dan memencet bel pintu utama rumah tersebut.
TING TONG!
Ah, rasanya seperti deja vu. Terakhir kali ia kesini adalah saat ia merawat Alesya yang sakit, lalu pintu ini dibukakan olehnya dengan wajah yang pucat setelah 3 kali denting bel.
Krek
Pintu di hadapan Ezra pun terbuka. Di hadapannya, muncul perempuan pujaannya dengan rambut panjang digerai yang masih terlihat segar meskipun telah menghabiskan waktu dengan seorang bocah berumur 5 tahun.
“Eh, udah datang aja lo.” celetuk Alesya yang membuka pintu.
“Memangnya lo mau lama-lama sama Eca?” tanya Ezra.
“Ekhm.” Alesya berdehem dengan kikuk karena tentu tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang babysitter ketika anak yang ia jaga dijemput kembali oleh keluarganya. “Eca masih asik main di dalam sih sama bokap gue. Lo masuk aja dulu sebentar, gue panggilin mereka.”
Ezra mengangguk, “Tapi jangan lama-lama, ya. Bokap nyokap gue nunggu di mobil. Pada istirahat.”
“Ooh..!” mendengar itu, Alesya seketika gelagapan dan segera berlari ke dalam rumahnya untuk mencari Eca. Lalu tak lama, Eca pun muncul bersama dengan Papi Alesya.
“Abang!” seru Eca yang kemudian berlari dan memeluk betis Ezra.
Sepertinya ini kali pertamanya mereka bertemu secara langsung walau kedua anak ini sudah mengenal cukup lama. Kesan pertama Papi Alesya bagi Ezra adalah bahwa beliau terlihat menyeramkan. Apa karena efek pekerjaannya sebagai jaksa? Atau karena merupakan seorang ayah dari anak perempuan tunggal? Mungkin keduanya. Jelas beliau akan tidak langsung menyukai seorang pria sebaya anak perempuan tunggalnya yang terus menerus mendekatinya.
“Oh.. jadi kamu yang namanya Ezra.” ujar Papi Alesya.
Ezra mengulurkan tangannya pada Pak Chandra dengan niat untuk salim namun secara halus ditolak oleh beliau dan digantikan dengan jabat tangan.
Pak Chandra menguatkan cengkraman tangannya saat menjabat tangan Ezra, “Jangan macam-macam ya kamu sama anak saya.” ujarnya. “Saya tak segan-segan bertemu dan menuntut kamu di pengadilan.”
Ezra menelan liurnya karena sedikit takut. Melihat itu membuat Alesya sedikit tergelitik. Dengan persona yang menurutnya easygoing, Ezra bisa terlihat sebagai penakut juga apabila bertemu dengan Papi Alesya.
Setelah perkenalan yang penuh dengan ketegangan itu, dua Pradipta bersaudara pun pamit untuk pulang dari kediaman Pak Chandra.
“Dadah, om Canda!” Eca melambaikan tangannya pada Papi Alesya yang dibalas dengan senyuman lebar.
“Permisi, om. Kita pamit dulu. Makasih om,” ucap Ezra yang sama sekali tak diindahkan oleh Papi Alesya.
Ezra bergidik ngeri lalu berjalan menuju ke luar pagar sambil menggandeng tangan Eca, dan juga diantar oleh Alesya.
“Bokap lo emang serem gitu, ya?” tanya Ezra.
“Pfft, cupu lo.” ledek Alesya dengan sedikit berbisik agar tak didengar oleh Eca.
“Bukan cupu, karena ini bisa buat jadi motivasi gue untuk semakin mendapatkan lo.” balas Ezra dengan percaya diri sehingga membuat Alesya menjadi gagu.
Alesya hanya diam tak berkutik. Hal itu jadi membuat Ezra bingung karena Alesya yang ia kenal pasti akan selalu menepis gombal murahan yang seringkali ia lontarkan.
Gadis itu berdehem kikuk. “Hem. Dah, lo pulang gih. Gue mesti masuk lagi.” ujarnya lalu hendak pergi dari hadapan Ezra.
“Eh, tunggu!” seru Ezra. “Ini,”
Ezra mengulurkan paper bag kecil isi Macaron dan sebuah kantong plastik transparan isi Rotiboy kepada Alesya. “Buat lo,” ucapnya.
Alesya dengan canggung menerima pemberian Ezra. “M-makasih...”
“Ya udah, kita pergi dulu ya,” ucap Ezra. “Eca, pamit dulu sama kakak Ale dan bilang makasih.”
“Kakak Ale, dadah! Makasih udah jaga Eca!”
Alesya tersenyum tipis entah karena memandang Eca atau Ezra. Ezra menyadari senyuman langka perempuan itu dan menjadi salah tingkah sedikit.
Tampaknya gue gak bakal semudah itu kalau mau move on dari dia.. gue sudah jatuh terlalu dalam.
© hazelnutbbutter